spot_img
spot_img

Alokasi Dana Desa di Sektor Ini Hanya 32 Persen

spot_img

TUBAN, Radar Tuban – Alokasi dana desa (DD) tahun ini tidak lagi diprioritas untuk pembangunan infrastruktur desa. Itu menyusul Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022.

Diatur dalam perpres tersebut, penggunaan DD minimal 40 persen diperuntukkan program perlindungan sosial berupa bantuan langsung tunai (BLT). Kemudian, program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20 persen. Berikutnya, dukungan pendanaan penanganan Covid-19 minimal wajib dialokasikan 8 persen. Sisanya, 32 persen diperuntukkan sektor lain, salah satunya infrastrutur.

Minimnya alokasi anggaran DD untuk infrastruktur tersebut sangat disayangkan oleh mayoritas kepala desa. Pejabat pengambil kebijakan di tingkat desa itu mengaku keberatan dengan minimnya alokasi anggaran infrastruktur tersebut. Sebab, besaran anggaran infrastruktur dari alokasi DD yang maksimal hanya 32 persen itu sangat minim dan tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur di tingkat desa. Bahkan, minimnya alokasi anggaran tersebut dinilai berpotensi menghambat kinerja pemerintah desa yang sudah dirancang dalam rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes).

Ketua DPC Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) Tuban, Jemy Tristantono mengatakan, munculnya perpres 104/2021 itu menjadi polemik di tingkat desa. Menurutnya, banyak desa yang merasa keberatan dengan minimnya alokasi anggaran infrastruktur di tingkat desa tersebut. ‘’Kami berharap pemerintah pusat kembali mempertimbangkan aturan tersebut (pembatasan alokasi DD untuk infrastruktur, Red),’’ katanya.

Terkait sikap keberatan tersebut, Papdesi Tuban sangat serius. Itu dibuktikan dengan berkirim surat ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Papdesi. Selanjutnya, surat keberatan itu akan diteruskan kepada pemerintah. ‘’Intinya, aturan pembatasan DD maksimal 32 persen untuk infastruktur itu memberatkan pemerintah desa,’’ paparnya.

Selain persoalan infrastruktur, aturan peruntukkan DD pada kegiatan yang lain juga cukup merepotkan desa. Alokasi 40 persen untuk BLT DD misalnya. Aturannya, kuota 40 persen itu harus diberikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM) yang belum menerima bantuan lain. Penentuannya juga harus melalui musyawarah desa (musdes) untuk mencari KPM yang belum pernah menerima bansos sama sekali. ‘’Kalau diestimasi, BLT itu nanti malah jatuhnya menyasar kelas menengah. Kerena yang miskin sudah dapat bansos dari pemerintah, maka harus mencari KPM baru,’’ katanya.

Di sisi lain, kuota 40 persen tersebut juga cukup sulit diimplementasikan. ‘’Teman-teman yang melakukan pendataan kesulitan. Karena rata-rata KPM sudah menerima bansos,’’ ujarnya.

Kalau pun ada yang bisa menerima BLT DD, lanjut dia, itu bukan lagi yang benar-benar miskin, tapi yang kelas menengah. Apabila seperti itu, tentu sangat berisiko. ‘’Akan memicu kecemburuan sosial dan berdampak pada konflik antar tetangga,’’ tandasnya.

Selanjutnya, aturan yang juga cukup dilematis, yakni terkait ketahanan pangan yang alokasi anggarannya 20 persen. Menurut Jemy, aturan tersebut juga multitafsir. Dia menjelaskan, ketahanan pangan itu berupa beras dan telur atau seperti bantuan pangan non tunai. Atau diperuntukkan pada sektor pertanian, seperti pembuatan lumbung untuk mendukung pertanian. ‘’Kalau semisal ketahanan pangan itu berupa beras dan telur akan sulit lagi, tapi kalau berupa infrastruktur yang mendukung ketahanan pangan tidak masalah,’’ bebernya.

Lalu, alokasi 8 persen untuk penanganan Covid-19, juga dinilai cukup banyak dan menyulitkan desa. Sebab, saat ini penanganan berbeda dengan awal pandemi 2020 dan 2021. Saat itu, alokasi 8 persen bisa untuk pembuatan ruang isolasi terpadu, bantuan untuk warga yang isolasi, dan penyemprotan disinfektan. ‘’Kalau sekarang yang kita isolasi sudah tidak ada,’’ ujarnya.

Andai saja, lanjut mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) itu, alokasi 8 persen diperuntukkan kegiatan vaksinasi, maka akan lebih efektif. Itupun, kegiatan vaksinasi yang saat ini masih berjalan juga sudah dianggarkan sendiri. ‘’Makanya teman-teman (kades, Red) juga marasa kesulitan dengan anggaran 8 persen untuk penanganan Covid-19 ini,’’ paparnya.

Seiring munculnya berbagai persoalan yang cukup rumit tersebut, Papdesi Tuban berharap kepada pemerintah pusat supaya meninjau kembali perpres 104/2021 tersebut. Sebab, jika perpres tetap dilakukan akan berpotensi menghambat pembangunan di desa. Itu karena perencanaan pembangunan desa sudah ditetapkan dalam RPJMDes. ‘’Sekali lagi, perpres 104/2021 ini jelas menghambat keberlangsungan pembangunan yang sudah direncanakan dalam RPJMDes,’’ tandasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah Desa, dan Keluarga Berencana (Dispemaspemdes KB) Tuban Nur Jannah mengatakan, alokasi DD itu sudah menjadi ketetapan dari pemerintah pusat. Sehingga, mau tidak mau pemerintah desa harus menyesuaikan. ‘’Bagaimana ya, itukan dana dari sana (Pemerintah pusat, Red). Jadi harus mengikuti ketentuan dari sana,’’ imbuhnya.

Lebih lanjut dia menyampaikan, pemerintah puast pada tahun ini memang fokus pada pemulihan ekonomi pasca pandemi. Sehingga, fokus penganggaran lebih pada pada kegiatan pemulihan ekonomi.

Adapun berdasar rincian DD 2022 Provinsi Jawa Timur. Pagu anggaran DD untuk Kabupaten Tuban sebesar Rp 280 miliar. Besaran pagu DD ini naik dari pada 2021 yang hanya Rp 263 miliar.(fud/tok)

TUBAN, Radar Tuban – Alokasi dana desa (DD) tahun ini tidak lagi diprioritas untuk pembangunan infrastruktur desa. Itu menyusul Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022.

Diatur dalam perpres tersebut, penggunaan DD minimal 40 persen diperuntukkan program perlindungan sosial berupa bantuan langsung tunai (BLT). Kemudian, program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20 persen. Berikutnya, dukungan pendanaan penanganan Covid-19 minimal wajib dialokasikan 8 persen. Sisanya, 32 persen diperuntukkan sektor lain, salah satunya infrastrutur.

Minimnya alokasi anggaran DD untuk infrastruktur tersebut sangat disayangkan oleh mayoritas kepala desa. Pejabat pengambil kebijakan di tingkat desa itu mengaku keberatan dengan minimnya alokasi anggaran infrastruktur tersebut. Sebab, besaran anggaran infrastruktur dari alokasi DD yang maksimal hanya 32 persen itu sangat minim dan tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur di tingkat desa. Bahkan, minimnya alokasi anggaran tersebut dinilai berpotensi menghambat kinerja pemerintah desa yang sudah dirancang dalam rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes).

Ketua DPC Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) Tuban, Jemy Tristantono mengatakan, munculnya perpres 104/2021 itu menjadi polemik di tingkat desa. Menurutnya, banyak desa yang merasa keberatan dengan minimnya alokasi anggaran infrastruktur di tingkat desa tersebut. ‘’Kami berharap pemerintah pusat kembali mempertimbangkan aturan tersebut (pembatasan alokasi DD untuk infrastruktur, Red),’’ katanya.

Terkait sikap keberatan tersebut, Papdesi Tuban sangat serius. Itu dibuktikan dengan berkirim surat ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Papdesi. Selanjutnya, surat keberatan itu akan diteruskan kepada pemerintah. ‘’Intinya, aturan pembatasan DD maksimal 32 persen untuk infastruktur itu memberatkan pemerintah desa,’’ paparnya.

- Advertisement -

Selain persoalan infrastruktur, aturan peruntukkan DD pada kegiatan yang lain juga cukup merepotkan desa. Alokasi 40 persen untuk BLT DD misalnya. Aturannya, kuota 40 persen itu harus diberikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM) yang belum menerima bantuan lain. Penentuannya juga harus melalui musyawarah desa (musdes) untuk mencari KPM yang belum pernah menerima bansos sama sekali. ‘’Kalau diestimasi, BLT itu nanti malah jatuhnya menyasar kelas menengah. Kerena yang miskin sudah dapat bansos dari pemerintah, maka harus mencari KPM baru,’’ katanya.

Di sisi lain, kuota 40 persen tersebut juga cukup sulit diimplementasikan. ‘’Teman-teman yang melakukan pendataan kesulitan. Karena rata-rata KPM sudah menerima bansos,’’ ujarnya.

Kalau pun ada yang bisa menerima BLT DD, lanjut dia, itu bukan lagi yang benar-benar miskin, tapi yang kelas menengah. Apabila seperti itu, tentu sangat berisiko. ‘’Akan memicu kecemburuan sosial dan berdampak pada konflik antar tetangga,’’ tandasnya.

Selanjutnya, aturan yang juga cukup dilematis, yakni terkait ketahanan pangan yang alokasi anggarannya 20 persen. Menurut Jemy, aturan tersebut juga multitafsir. Dia menjelaskan, ketahanan pangan itu berupa beras dan telur atau seperti bantuan pangan non tunai. Atau diperuntukkan pada sektor pertanian, seperti pembuatan lumbung untuk mendukung pertanian. ‘’Kalau semisal ketahanan pangan itu berupa beras dan telur akan sulit lagi, tapi kalau berupa infrastruktur yang mendukung ketahanan pangan tidak masalah,’’ bebernya.

Lalu, alokasi 8 persen untuk penanganan Covid-19, juga dinilai cukup banyak dan menyulitkan desa. Sebab, saat ini penanganan berbeda dengan awal pandemi 2020 dan 2021. Saat itu, alokasi 8 persen bisa untuk pembuatan ruang isolasi terpadu, bantuan untuk warga yang isolasi, dan penyemprotan disinfektan. ‘’Kalau sekarang yang kita isolasi sudah tidak ada,’’ ujarnya.

Andai saja, lanjut mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) itu, alokasi 8 persen diperuntukkan kegiatan vaksinasi, maka akan lebih efektif. Itupun, kegiatan vaksinasi yang saat ini masih berjalan juga sudah dianggarkan sendiri. ‘’Makanya teman-teman (kades, Red) juga marasa kesulitan dengan anggaran 8 persen untuk penanganan Covid-19 ini,’’ paparnya.

Seiring munculnya berbagai persoalan yang cukup rumit tersebut, Papdesi Tuban berharap kepada pemerintah pusat supaya meninjau kembali perpres 104/2021 tersebut. Sebab, jika perpres tetap dilakukan akan berpotensi menghambat pembangunan di desa. Itu karena perencanaan pembangunan desa sudah ditetapkan dalam RPJMDes. ‘’Sekali lagi, perpres 104/2021 ini jelas menghambat keberlangsungan pembangunan yang sudah direncanakan dalam RPJMDes,’’ tandasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah Desa, dan Keluarga Berencana (Dispemaspemdes KB) Tuban Nur Jannah mengatakan, alokasi DD itu sudah menjadi ketetapan dari pemerintah pusat. Sehingga, mau tidak mau pemerintah desa harus menyesuaikan. ‘’Bagaimana ya, itukan dana dari sana (Pemerintah pusat, Red). Jadi harus mengikuti ketentuan dari sana,’’ imbuhnya.

Lebih lanjut dia menyampaikan, pemerintah puast pada tahun ini memang fokus pada pemulihan ekonomi pasca pandemi. Sehingga, fokus penganggaran lebih pada pada kegiatan pemulihan ekonomi.

Adapun berdasar rincian DD 2022 Provinsi Jawa Timur. Pagu anggaran DD untuk Kabupaten Tuban sebesar Rp 280 miliar. Besaran pagu DD ini naik dari pada 2021 yang hanya Rp 263 miliar.(fud/tok)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img