spot_img
spot_img

Safari Literasi: Tuban dan Kemiskinan

spot_img

Oleh: Cak Sariban, Staf Pengajar pada Pascasarjana Unisda Lamongan dan Universitas Sunan Bonang Tuban serta bergiat literasi di Kabupaten Tuban

TUBAN bakal menghelat Safari Literasi (SL) tingkat nasional pada 26 Januari 2022. Kegiatan yang digagas oleh Komunitas Guru Belajar (KGB) Tuban ini mendatangkan duta baca literasi nasional Gol A Gong. Kegiatan yang menyisir kota-kota di seluruh Indonesia ini diiniasi oleh Perpustakaan Nasional RI berkolaborasi dengan kementerian terkait, pemerintah daerah, dan komunitas-komunitas literasi, serta lembaga-lembaga pendidikan sebagai basis gerakan literasi.

Memaknai SL di Tuban dapat dikaitkan dengan visi besar Tuban hari ini, “Tuban Berkesejahteraan” melalui konsep ‘membangun desa dan menata kota’. Di sisi paradoks, hari ini banyak suara masyarakat Tuban yang santer untuk terus menekan angka kemiskinan di Tuban. Pertanyaan kritisnya, adalah bagaimana jalan pikir bahwa literasi mampu menyejahterakan masyarakat.

Literasi Solusi Hidup

Literasi yang secara konseptual dimaknai sebagai kegiatan ‘baca-tulis’ kini telah bergeser pada perluasan makna. Literasi hari ini yang kemudian menjelma menjadi literasi berkonsep: baca tulis, numerik, sains, finansial, budaya-kewarganegaraan, dan digital, sejatinya menyadarkan kita semua bahwa perlu formula baru perihal literasi.

Literasi kemudian dapat diartikulasikan pada konsep segala aktivitas memperoleh informasi, memproduksi informasi, serta menyebarluaskan informasi guna mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Singkatnya, literasi adalah kesanggupan diri untuk memperoleh dan menggunakan informasi untuk solusi kehidupan.

Jika konsep ini yang dipakai, literasi merupakan kebutuhan primer manusia. Seseorang yang tingkat literasinya baik maka kehidupannya pun akan baik. Literasi dipandang sebagai alat hidup.

Ilustrasinya sederhana. Saya memiliki tetangga. Sebutlah A dan B.  Sama-sama berprofesi tukang batu. A sanggup menguliahkan empat anaknya. B hanya berhasil menyekolahkan satu anaknya sampai SMK. A sekarang memiliki mobil keluaran tahun 2014 dan anak-anaknya telah berkeluarga. B memilki motor serta satu anaknya telah berkeluarga. Saya amati motor B itu tak terawat. Sadelnya rompal. Spionnya amburadul. Knalpotnya bocor. Lantaran itu, saya mudah menebak siapa yang bermotor melintas depan rumah.

Contoh kehidupan A dan B diam-diam saya pelajari. Keduanya memiliki persamaan. Sama-sama rajin beribadah. Sama-sama suka mendengarkan pengajian. Bedanya, A melakukan apa-apa informasi yang diperolehnya. Sementara itu, B sekadar memperoleh informasi dan tidak pernah menggunakan informasi itu. Bahwa ada informasi dari pengajian “jika ingin hidup yang baik janganlah banyak makan dan hindari sifat menunda kebaikan”. Saya tahu betul A tidak suka makan jika tidak lapar dan rajinnnya minta ampun. Sementara itu, B makannya melebihi rasa kenyang dan malasnya amat terlihat. Terlepas soal takdir, hasil hidup yang berbeda antara A dan B menandakan bahwa “informasi” sebagai ruh literasi tidak akan mampu menjadi solusi hidup manakala “masyarakat kita hanya tahu”.

Yang dibutuhkan hari ini, misalnya perihal indeks kemiskinan Tuban yang tinggi, kita perlu tahu mengapa ranking atas kemiskinan kita itu terjadi. Apa saja variabel penentunya? Apa saja indikatornya? Setelah kita tahu, yang lebih penting adalah “bertindak” atas pengetahuan kita untuk keluar dari angka kemiskinan yang tinggi itu.

Gelombang literasi digital yang secara cepat dan mudah hari ini telah mendorong ‘indek pengetahuan’ masyarakat kita membaik. Pengetahuan yang baik tidak serta-merta mampu menciptakan masyarakat yang baik (baca: sejahtera) pula.

Literasi sebagai amunisi pendorong kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan membuka ruang-ruang belajar masyarakat. Kultur masyarakat terbuka dan ‘merasa butuh’ informasi harus terus digalakkan dalam semua sekmen kehidupan.

Saya masih ingat teman guru saya yang juga bertani. Melalui akun YouTobe dia belajar menanam padi pada saat curah hujan tinggi. Diperoleh informasi, perlu larikan tanam secara blok dan antarblok perlu kerenggangan agar sinar matahari cukup bisa masuk ke batang padi. Pola ini berbeda ketika musim kemarau. Dari praktik pengetahuannya melalui brosing itu, hasil panennya meningkat.

Lain cerita kawan saya yang lain. Dia menanam alpokat dari biji. Bertahun-tahun alpokat itu tidak berbuah. Ada rasa mubazir apa yang dilakukan. Tidak berpikir panjang, pohon alpokat yang tua, rimbum, dan tidak berbuah itu ditebang.

Sementara itu, jika teman saya pemilik pohon alpokat itu mau belajar, banyak cara membuahkan pohon alpokat yang telah berumur. Secara pengetahuan, dapat dilakukan pemotongan dahan ranting tak berguna atau pruning, pengeratan pohon, maupun pola perawatan dan pemupukan intensif. Inilah pentingnya kesadaran berliterasi.

Berliterasi karena itu tidak bisa dilepaskan dengan kebiasaan hidup ‘merasa perlu informasi’, menyeleksi informasi, bertindak atas informasi terpilih, mengambil keputusan atas tindakan berdasarkan informasi, dan bermuara pada jiwa mandiri atas pengetahuan yang telah dimiliki.

Implementasi literasi secara benar sejatinya mendorong masyarakat cerdas membrosing, menyeleksi, menggunakan, bertindak, dan mengambil keputusan terbaik atas informasi yang dipilihnya. Jika saja kultur berliterasi seperti ini secara masif terjadi pada masyarakat kita, maka warga masyarakat dapat hidup secara mandiri. Masyarakat yang selesai hidupnya karena mampu mengatasi masalah. Masyarakat literasi adalah masyarakat solutif. Masyarakat bertindak. Bukan masyarakat yang menghabiskan waktunya untuk berputar-putar hanya sebatas mendiskusikan masalah.

Jalan Kebijaksanaan

Satu hal menarik SL yang digagas KGB Tuban ini melibatkan unsur pemerintah dan swasta. Panitia secara militan menggalang dana dengan melibatkan banyak lembaga untuk sukses kegiatan ini. Peserta SL yang hadir dilayani secara terhormat. Gratis. Pesan makna yang dibangun panitia, KGB Tuban, bahwa literasi menjadi tanggung jawab semua. Literasi harus dipahami oleh semua. Literasi harus ada di semua.

Jika semua lapisan masyarakat dalam komunitas keluarga, perkantoran, persekolahan, organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok sosial membaur kehidupannya dalam gaya hidup berliterasi, maka secara masif akan terlahirkan masyarakat bijaksana. Di sana ada pengetahuan yang cukup untuk hidup terus berkualitas, toleransi, penuh inovasi, mandiri, dan tentu memberi. Ya, piramida tertinggi literasi hendak menciptakan “sekali hidup berilah kehidupan” seperti falsafah Jawa “urip iku urup”. Sejalan ajaran agama, hidup yang paling berkualitas adalah hidup yang bermanfaat bagi orang lain atau kehidupan.

Salam literasi. Tuban berkesejahteraan. Tuban harmoni dalam kebersamaan atas fondasi ilmu pengetahuan. (*)

Oleh: Cak Sariban, Staf Pengajar pada Pascasarjana Unisda Lamongan dan Universitas Sunan Bonang Tuban serta bergiat literasi di Kabupaten Tuban

TUBAN bakal menghelat Safari Literasi (SL) tingkat nasional pada 26 Januari 2022. Kegiatan yang digagas oleh Komunitas Guru Belajar (KGB) Tuban ini mendatangkan duta baca literasi nasional Gol A Gong. Kegiatan yang menyisir kota-kota di seluruh Indonesia ini diiniasi oleh Perpustakaan Nasional RI berkolaborasi dengan kementerian terkait, pemerintah daerah, dan komunitas-komunitas literasi, serta lembaga-lembaga pendidikan sebagai basis gerakan literasi.

Memaknai SL di Tuban dapat dikaitkan dengan visi besar Tuban hari ini, “Tuban Berkesejahteraan” melalui konsep ‘membangun desa dan menata kota’. Di sisi paradoks, hari ini banyak suara masyarakat Tuban yang santer untuk terus menekan angka kemiskinan di Tuban. Pertanyaan kritisnya, adalah bagaimana jalan pikir bahwa literasi mampu menyejahterakan masyarakat.

Literasi Solusi Hidup

Literasi yang secara konseptual dimaknai sebagai kegiatan ‘baca-tulis’ kini telah bergeser pada perluasan makna. Literasi hari ini yang kemudian menjelma menjadi literasi berkonsep: baca tulis, numerik, sains, finansial, budaya-kewarganegaraan, dan digital, sejatinya menyadarkan kita semua bahwa perlu formula baru perihal literasi.

- Advertisement -

Literasi kemudian dapat diartikulasikan pada konsep segala aktivitas memperoleh informasi, memproduksi informasi, serta menyebarluaskan informasi guna mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Singkatnya, literasi adalah kesanggupan diri untuk memperoleh dan menggunakan informasi untuk solusi kehidupan.

Jika konsep ini yang dipakai, literasi merupakan kebutuhan primer manusia. Seseorang yang tingkat literasinya baik maka kehidupannya pun akan baik. Literasi dipandang sebagai alat hidup.

Ilustrasinya sederhana. Saya memiliki tetangga. Sebutlah A dan B.  Sama-sama berprofesi tukang batu. A sanggup menguliahkan empat anaknya. B hanya berhasil menyekolahkan satu anaknya sampai SMK. A sekarang memiliki mobil keluaran tahun 2014 dan anak-anaknya telah berkeluarga. B memilki motor serta satu anaknya telah berkeluarga. Saya amati motor B itu tak terawat. Sadelnya rompal. Spionnya amburadul. Knalpotnya bocor. Lantaran itu, saya mudah menebak siapa yang bermotor melintas depan rumah.

Contoh kehidupan A dan B diam-diam saya pelajari. Keduanya memiliki persamaan. Sama-sama rajin beribadah. Sama-sama suka mendengarkan pengajian. Bedanya, A melakukan apa-apa informasi yang diperolehnya. Sementara itu, B sekadar memperoleh informasi dan tidak pernah menggunakan informasi itu. Bahwa ada informasi dari pengajian “jika ingin hidup yang baik janganlah banyak makan dan hindari sifat menunda kebaikan”. Saya tahu betul A tidak suka makan jika tidak lapar dan rajinnnya minta ampun. Sementara itu, B makannya melebihi rasa kenyang dan malasnya amat terlihat. Terlepas soal takdir, hasil hidup yang berbeda antara A dan B menandakan bahwa “informasi” sebagai ruh literasi tidak akan mampu menjadi solusi hidup manakala “masyarakat kita hanya tahu”.

Yang dibutuhkan hari ini, misalnya perihal indeks kemiskinan Tuban yang tinggi, kita perlu tahu mengapa ranking atas kemiskinan kita itu terjadi. Apa saja variabel penentunya? Apa saja indikatornya? Setelah kita tahu, yang lebih penting adalah “bertindak” atas pengetahuan kita untuk keluar dari angka kemiskinan yang tinggi itu.

Gelombang literasi digital yang secara cepat dan mudah hari ini telah mendorong ‘indek pengetahuan’ masyarakat kita membaik. Pengetahuan yang baik tidak serta-merta mampu menciptakan masyarakat yang baik (baca: sejahtera) pula.

Literasi sebagai amunisi pendorong kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan membuka ruang-ruang belajar masyarakat. Kultur masyarakat terbuka dan ‘merasa butuh’ informasi harus terus digalakkan dalam semua sekmen kehidupan.

Saya masih ingat teman guru saya yang juga bertani. Melalui akun YouTobe dia belajar menanam padi pada saat curah hujan tinggi. Diperoleh informasi, perlu larikan tanam secara blok dan antarblok perlu kerenggangan agar sinar matahari cukup bisa masuk ke batang padi. Pola ini berbeda ketika musim kemarau. Dari praktik pengetahuannya melalui brosing itu, hasil panennya meningkat.

Lain cerita kawan saya yang lain. Dia menanam alpokat dari biji. Bertahun-tahun alpokat itu tidak berbuah. Ada rasa mubazir apa yang dilakukan. Tidak berpikir panjang, pohon alpokat yang tua, rimbum, dan tidak berbuah itu ditebang.

Sementara itu, jika teman saya pemilik pohon alpokat itu mau belajar, banyak cara membuahkan pohon alpokat yang telah berumur. Secara pengetahuan, dapat dilakukan pemotongan dahan ranting tak berguna atau pruning, pengeratan pohon, maupun pola perawatan dan pemupukan intensif. Inilah pentingnya kesadaran berliterasi.

Berliterasi karena itu tidak bisa dilepaskan dengan kebiasaan hidup ‘merasa perlu informasi’, menyeleksi informasi, bertindak atas informasi terpilih, mengambil keputusan atas tindakan berdasarkan informasi, dan bermuara pada jiwa mandiri atas pengetahuan yang telah dimiliki.

Implementasi literasi secara benar sejatinya mendorong masyarakat cerdas membrosing, menyeleksi, menggunakan, bertindak, dan mengambil keputusan terbaik atas informasi yang dipilihnya. Jika saja kultur berliterasi seperti ini secara masif terjadi pada masyarakat kita, maka warga masyarakat dapat hidup secara mandiri. Masyarakat yang selesai hidupnya karena mampu mengatasi masalah. Masyarakat literasi adalah masyarakat solutif. Masyarakat bertindak. Bukan masyarakat yang menghabiskan waktunya untuk berputar-putar hanya sebatas mendiskusikan masalah.

Jalan Kebijaksanaan

Satu hal menarik SL yang digagas KGB Tuban ini melibatkan unsur pemerintah dan swasta. Panitia secara militan menggalang dana dengan melibatkan banyak lembaga untuk sukses kegiatan ini. Peserta SL yang hadir dilayani secara terhormat. Gratis. Pesan makna yang dibangun panitia, KGB Tuban, bahwa literasi menjadi tanggung jawab semua. Literasi harus dipahami oleh semua. Literasi harus ada di semua.

Jika semua lapisan masyarakat dalam komunitas keluarga, perkantoran, persekolahan, organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok sosial membaur kehidupannya dalam gaya hidup berliterasi, maka secara masif akan terlahirkan masyarakat bijaksana. Di sana ada pengetahuan yang cukup untuk hidup terus berkualitas, toleransi, penuh inovasi, mandiri, dan tentu memberi. Ya, piramida tertinggi literasi hendak menciptakan “sekali hidup berilah kehidupan” seperti falsafah Jawa “urip iku urup”. Sejalan ajaran agama, hidup yang paling berkualitas adalah hidup yang bermanfaat bagi orang lain atau kehidupan.

Salam literasi. Tuban berkesejahteraan. Tuban harmoni dalam kebersamaan atas fondasi ilmu pengetahuan. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img