spot_img
spot_img

Generasi Emas 2045, Literasi, dan Perguruan Tinggi Negeri

spot_img

Belakangan ini, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2025-2045 menjadi pembahasan hangat di internal pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun daerah. Jajaran pejabat—dan beberapa kali juga melibatkan elemen masyarakat—sibuk merumuskan rencana pembangunan jangka panjang—yang katanya disiapkan untuk menyongsong era keemasan 2045. Lantas, apa yang harus disiapkan?

 

SEBELUM jauh membahas rencana-rencana besar—yang terkadang tidak lebih dari sekadar utopis—gugur kewajiban dalam penyusunan program. Alangkah baiknnya, kita pahami dulu maksud Indonesia emas di 2045 tersebut.

Jamak kita pahami bahwa 2045 merupakan puncak bonus demografi bangsa ini. Di mana usia produktif (15-64 tahun) akan mendominasi lebih dari 60 persen dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas)—dari total jumlah penduduk Indonesia.

Artinya, bangsa ini akan ketiban pulung berupa generasi produktif di saat bangsa ini genap berusia 100 tahun.

Menjawab pertanyaan di atas: Lantas, apa yang harus disiapkan dalam menyongsong 2045? Jika kita sudah memahami bahwa substansi dari yang dimaksud era keemasan 2045 adalah puncak bonus demografi, maka objeknya adalah sumber daya manusia (SDM) dari generasi saat ini—yang sebagian besar masih usia anak-anak.

Pertanyaan lanjutannya: Dengan apa SDM disiapkan? Hemat penulis, sejauh ini belum ada instrumen lain dalam menyiapkan generasi unggul di masa mendatang kecuali dengan pendidikan.

Dan fondasi dari pendidikan adalah literasi. Membudayakan membaca sejak usia dini. Tentu, yang tidak kalah penting adalah karakter etika atau akhlak.

Namun, karena tantangannya adalah teknologi, maka yang dibutuhkan adalah literasi. Sebab, teknologi tidak mengenal etika.

Ini penting saya sampaikan kepada para pemangku kebijakan, karena tantangan berat bangsa ini ke depan adalah pengaruh negatif teknologi.

Risiko terburuknya, apabila generasi sekarang tidak disiapkan secara matang—dengan fondasi literasi yang baik, maka jangan menyesal jika generasi 2045 adalah generasi dari anak “biologis” teknologi.  Generasi yang minim “nilai”. Generasi yang lepas dari akar budaya bangsa, dan generasi yang tak lagi mencintai proses.

Kenapa demikian? Meski teknologi juga memberikan dampak positif terhadap perkembangan manusia, namun dampak negatif lebih tak terbatas. Sehingga, kata kuncinya adalah filter.

Dan sekali lagi, belum ada instrumen lain yang paling efektif dalam memfilter dampak negatif teknologi kecuali literasi—membudayakan membaca.

Kita harus menyadari bahwa teknologi dicipta tidak berangkat dari niat yang tulus. Seperti halnya imperialisme.

Pada awal perluasan wilayah, yang ditawarkan para imperator adalah hal-hal utopis. Bayang-bayang indah—sebuah janji perubahan ke arah yang lebih baik.

Dari bangsa yang tidak maju menjadi berkemajuan. Budaya, adat-istiadat hingga norma-norma melebur—mengikuti tata pemerintah yang dibawa oleh sang imperare.

Yang semula “mereka” menjadi “kita”. Tunduk dan patuh pada aturan baru—yang semula dianggap membawa perubahan.

Padahal, itulah awal dalam mempertahankan imperium.

Pun demikian dengan pengaruh teknologi. Utamanya media sosial.

Kita merasa bahwa perkembangan media sosial sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Memberikan kemudahan-kemudahan dan hal-hal yang sangat instan.

Namun, seperti halnya imperium, itulah awal kita masuk dalam cengkraman pengaruh media sosial. Kita tidak pernah sadar bahwa hadirnya narasi pendek dan video shorts di Youtube, TikTok, Instagram, dan banyak media sosial lainnya, itu akan membentuk generasi instan.

Generasi yang tidak mencintai proses. Generasi yang kemudian mudah termakan hoaks.

Bagaimana mungkin seseorang bisa memahami persoalan secara utuh jika dalam dirinya sudah membudaya terhadap hal-hal pendek dan instan.

Agar sesuatu yang buruk itu tidak terjadi, maka perlu kita siapkan dari sekarang. Dan satu-satunya instrumen yang paling efektif adalah membudayakan gemar membaca sejak dini.

Seseorang yang memiliki fondasi gemar baca, dia akan menjadi pribadi yang mencintai proses dan memiliki sikap skeptis.

Orang yang terbiasa membaca akan memiliki kepekaan terhadap proses.

Bahwa membaca itu dimulai dari halaman pertama, dan tuntas hingga halaman terakhir.

Secara psikologi, orang yang gemar membaca akan menjadi generasi muda yang mencintai proses, teguh pada prinsip, memegang erat idealisme, dan memiliki semangat juang tinggi di jalan kebenaran. Bukan jalan yang disiapkan “paman”.

Menyiapkan Perguruan Tinggi Negeri

Setelah fondasi literasi, instrumen lain yang harus disiapkan dalam menyongsong generasi emas Kabupaten Tuban 2045, adalah menyiapkan perguruan tinggi negeri yang berkualitas.

Kenapa demikian? Karena mahasiswa atau pendidikan S1 adalah puncak golongan intelektual dari jalur formal yang dapat diandalkan.

Lantas, kenapa harus perguruan tinggi negeri? Bukankah setiap perguruan tinggi itu sama saja.

Tergantung mahasiswa. Jika memang dasarnya pintar, ya pintar. Tidak perlu perguruan tinggi negeri atau swasta.

Dulu, saya yang kuliahnya di Tuban—di kampus swasta (karena memang belum ada kampus negeri di Tuban), juga pernah berpikir seperti itu— bawah semua kampus itu sama. Tapi ternyata salah.

Yang sama hanya mahasiswanya, tapi kualitasnya beda wadoooh…

Gimana mau mbandingin kampus swasta dengan negeri, lh awong secara status saja sudah beda. Seleksi masuknya juga beda. Kultur akademis dan fasilitas, apalagi, jangan tanya.

Saya merasakan begitu nestapanya menjadi mahasiswa lokal, dan di kampus kecil pula.

Apalagi ketika kumpul bersama dengan mahasiswa dari kampus-kampus negeri ternama.

Lepas dari segala kepelikan personal tersebut, keberadaan perguruan tinggi negeri sangatlah penting. Tidak perlu saya jelasakan secara detail keunggulan perguruan tinggi negeri dibanding swasta.

Dari segi kualitas, banyaknya pilihan jurusan, hingga peluang karir, sepertinya semua sudah tahu.

Jangan membandingkan sesuatu yang tidak apple to apple. Yang jelas, jika ingin menyiapkan generasi unggul di 2045 mendatang, keberadaan kampus negeri di Tuban sangat dibutuhkan.

Selain akan berdampak luar biasa terhadap SDM masyarakat Tuban, alasan sederhana adalah menekan biaya pendidikan.

Masyarakat Tuban yang hendak kuliah di perguruan tinggi negeri tidak perlu ke luar  kota dan mengeluarkan biaya tinggi.

Di sisi lain, keberadaan kampus negeri juga bisa memberikan multiplier effect terhadap ekonomi masyarakat.

Di Bangkalan, Madura, misalnya. Sebelum ada perguruan tinggi negeri Universitas Trunojoyo Madura (UTM), sepertinya tidak ada yang berminat kuliah ke Madura.

Namun, ketika UTM berdiri sebagai kampus negeri. Kini begitu banyak mahasiswa dari banyak daerah, termasuk Tuban yang berbondong-bondong kuliah ke sana melalui jalur reguler maupun prestasi.

Begitu banyak mahasiswa yang menetap dan ngekos.

Itu baru kampus UTM di Bangkalan, belum daerah lain yang sudah membuka kampus negeri ternama, seperti Kediri, Tulungagung, dan Banyuwangi.

Kesempatan warga setempat untuk mendapat pendidikan layak di perguruan tinggi negeri sangat terbuka lebar.

Ekonomi masyarakat sekitar kampus juga tumbuh bergeliat.

Bayangkan, jika fondasi literasi dan perguruan tinggi negeri bisa diwujudkan di Tuban. Insya Allah, anak-anak muda hari ini akan menjadi generasi emas Kabupaten Tuban di 2045 mendatang.

Dan semua itu akan berjalan optimal jika melalui kebijakan yang tepat. (*)

Belakangan ini, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2025-2045 menjadi pembahasan hangat di internal pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun daerah. Jajaran pejabat—dan beberapa kali juga melibatkan elemen masyarakat—sibuk merumuskan rencana pembangunan jangka panjang—yang katanya disiapkan untuk menyongsong era keemasan 2045. Lantas, apa yang harus disiapkan?

 

SEBELUM jauh membahas rencana-rencana besar—yang terkadang tidak lebih dari sekadar utopis—gugur kewajiban dalam penyusunan program. Alangkah baiknnya, kita pahami dulu maksud Indonesia emas di 2045 tersebut.

Jamak kita pahami bahwa 2045 merupakan puncak bonus demografi bangsa ini. Di mana usia produktif (15-64 tahun) akan mendominasi lebih dari 60 persen dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas)—dari total jumlah penduduk Indonesia.

Artinya, bangsa ini akan ketiban pulung berupa generasi produktif di saat bangsa ini genap berusia 100 tahun.

- Advertisement -

Menjawab pertanyaan di atas: Lantas, apa yang harus disiapkan dalam menyongsong 2045? Jika kita sudah memahami bahwa substansi dari yang dimaksud era keemasan 2045 adalah puncak bonus demografi, maka objeknya adalah sumber daya manusia (SDM) dari generasi saat ini—yang sebagian besar masih usia anak-anak.

Pertanyaan lanjutannya: Dengan apa SDM disiapkan? Hemat penulis, sejauh ini belum ada instrumen lain dalam menyiapkan generasi unggul di masa mendatang kecuali dengan pendidikan.

Dan fondasi dari pendidikan adalah literasi. Membudayakan membaca sejak usia dini. Tentu, yang tidak kalah penting adalah karakter etika atau akhlak.

Namun, karena tantangannya adalah teknologi, maka yang dibutuhkan adalah literasi. Sebab, teknologi tidak mengenal etika.

Ini penting saya sampaikan kepada para pemangku kebijakan, karena tantangan berat bangsa ini ke depan adalah pengaruh negatif teknologi.

Risiko terburuknya, apabila generasi sekarang tidak disiapkan secara matang—dengan fondasi literasi yang baik, maka jangan menyesal jika generasi 2045 adalah generasi dari anak “biologis” teknologi.  Generasi yang minim “nilai”. Generasi yang lepas dari akar budaya bangsa, dan generasi yang tak lagi mencintai proses.

Kenapa demikian? Meski teknologi juga memberikan dampak positif terhadap perkembangan manusia, namun dampak negatif lebih tak terbatas. Sehingga, kata kuncinya adalah filter.

Dan sekali lagi, belum ada instrumen lain yang paling efektif dalam memfilter dampak negatif teknologi kecuali literasi—membudayakan membaca.

Kita harus menyadari bahwa teknologi dicipta tidak berangkat dari niat yang tulus. Seperti halnya imperialisme.

Pada awal perluasan wilayah, yang ditawarkan para imperator adalah hal-hal utopis. Bayang-bayang indah—sebuah janji perubahan ke arah yang lebih baik.

Dari bangsa yang tidak maju menjadi berkemajuan. Budaya, adat-istiadat hingga norma-norma melebur—mengikuti tata pemerintah yang dibawa oleh sang imperare.

Yang semula “mereka” menjadi “kita”. Tunduk dan patuh pada aturan baru—yang semula dianggap membawa perubahan.

Padahal, itulah awal dalam mempertahankan imperium.

Pun demikian dengan pengaruh teknologi. Utamanya media sosial.

Kita merasa bahwa perkembangan media sosial sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Memberikan kemudahan-kemudahan dan hal-hal yang sangat instan.

Namun, seperti halnya imperium, itulah awal kita masuk dalam cengkraman pengaruh media sosial. Kita tidak pernah sadar bahwa hadirnya narasi pendek dan video shorts di Youtube, TikTok, Instagram, dan banyak media sosial lainnya, itu akan membentuk generasi instan.

Generasi yang tidak mencintai proses. Generasi yang kemudian mudah termakan hoaks.

Bagaimana mungkin seseorang bisa memahami persoalan secara utuh jika dalam dirinya sudah membudaya terhadap hal-hal pendek dan instan.

Agar sesuatu yang buruk itu tidak terjadi, maka perlu kita siapkan dari sekarang. Dan satu-satunya instrumen yang paling efektif adalah membudayakan gemar membaca sejak dini.

Seseorang yang memiliki fondasi gemar baca, dia akan menjadi pribadi yang mencintai proses dan memiliki sikap skeptis.

Orang yang terbiasa membaca akan memiliki kepekaan terhadap proses.

Bahwa membaca itu dimulai dari halaman pertama, dan tuntas hingga halaman terakhir.

Secara psikologi, orang yang gemar membaca akan menjadi generasi muda yang mencintai proses, teguh pada prinsip, memegang erat idealisme, dan memiliki semangat juang tinggi di jalan kebenaran. Bukan jalan yang disiapkan “paman”.

Menyiapkan Perguruan Tinggi Negeri

Setelah fondasi literasi, instrumen lain yang harus disiapkan dalam menyongsong generasi emas Kabupaten Tuban 2045, adalah menyiapkan perguruan tinggi negeri yang berkualitas.

Kenapa demikian? Karena mahasiswa atau pendidikan S1 adalah puncak golongan intelektual dari jalur formal yang dapat diandalkan.

Lantas, kenapa harus perguruan tinggi negeri? Bukankah setiap perguruan tinggi itu sama saja.

Tergantung mahasiswa. Jika memang dasarnya pintar, ya pintar. Tidak perlu perguruan tinggi negeri atau swasta.

Dulu, saya yang kuliahnya di Tuban—di kampus swasta (karena memang belum ada kampus negeri di Tuban), juga pernah berpikir seperti itu— bawah semua kampus itu sama. Tapi ternyata salah.

Yang sama hanya mahasiswanya, tapi kualitasnya beda wadoooh…

Gimana mau mbandingin kampus swasta dengan negeri, lh awong secara status saja sudah beda. Seleksi masuknya juga beda. Kultur akademis dan fasilitas, apalagi, jangan tanya.

Saya merasakan begitu nestapanya menjadi mahasiswa lokal, dan di kampus kecil pula.

Apalagi ketika kumpul bersama dengan mahasiswa dari kampus-kampus negeri ternama.

Lepas dari segala kepelikan personal tersebut, keberadaan perguruan tinggi negeri sangatlah penting. Tidak perlu saya jelasakan secara detail keunggulan perguruan tinggi negeri dibanding swasta.

Dari segi kualitas, banyaknya pilihan jurusan, hingga peluang karir, sepertinya semua sudah tahu.

Jangan membandingkan sesuatu yang tidak apple to apple. Yang jelas, jika ingin menyiapkan generasi unggul di 2045 mendatang, keberadaan kampus negeri di Tuban sangat dibutuhkan.

Selain akan berdampak luar biasa terhadap SDM masyarakat Tuban, alasan sederhana adalah menekan biaya pendidikan.

Masyarakat Tuban yang hendak kuliah di perguruan tinggi negeri tidak perlu ke luar  kota dan mengeluarkan biaya tinggi.

Di sisi lain, keberadaan kampus negeri juga bisa memberikan multiplier effect terhadap ekonomi masyarakat.

Di Bangkalan, Madura, misalnya. Sebelum ada perguruan tinggi negeri Universitas Trunojoyo Madura (UTM), sepertinya tidak ada yang berminat kuliah ke Madura.

Namun, ketika UTM berdiri sebagai kampus negeri. Kini begitu banyak mahasiswa dari banyak daerah, termasuk Tuban yang berbondong-bondong kuliah ke sana melalui jalur reguler maupun prestasi.

Begitu banyak mahasiswa yang menetap dan ngekos.

Itu baru kampus UTM di Bangkalan, belum daerah lain yang sudah membuka kampus negeri ternama, seperti Kediri, Tulungagung, dan Banyuwangi.

Kesempatan warga setempat untuk mendapat pendidikan layak di perguruan tinggi negeri sangat terbuka lebar.

Ekonomi masyarakat sekitar kampus juga tumbuh bergeliat.

Bayangkan, jika fondasi literasi dan perguruan tinggi negeri bisa diwujudkan di Tuban. Insya Allah, anak-anak muda hari ini akan menjadi generasi emas Kabupaten Tuban di 2045 mendatang.

Dan semua itu akan berjalan optimal jika melalui kebijakan yang tepat. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img