spot_img
spot_img

Aset Kebudayaan Indonesia, Malaysia, atau India?

spot_img

Oleh: Yudha Satria Aditama, Wartawan Jawa Pos Radar Tuban

PADA akhir 2021, platform Instagram kembali digegerkan dengan warganet Indonesia yang ramai-ramai protes ke akun resmi Adidas. Akun media sosial (medsos) merek sepatu terkemuka itu diserbu netizen setelah memposting sepatu tipe baru bermotif wayang. Yang dipersoalkan adalah caption dari brand sepatu itu menuliskan wayang sebagai salah satu warisan kebudayaan Malaysia.

Diklaimnya wayang sebagai warisan negara tetangga selalu memunculkan ledakan di kalangan masyarakat Indonesia. Perdebatan apakah wayang milik Indonesia dan Malaysia sebenarnya sudah klir sejak lama. Indonesia dan Malaysia merupakan satu rumpun. Punya banyak kesamaan. Kulit, ras, dan sebagian sejarah perjuangan. Konon katanya, Malaysia juga sempat menjadi negara di bawah Indonesia saat masih kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada.

Ditambah hubungan diplomatik antar dua negara yang mengirim banyak orang Indonesia ke Malaysia. Jadi sangat mungkin orang Indonesia yang sudah turun temurun hidup di Malaysia menampilkan kesenian khas kampung halamannya dulu. Misalnya, orang Ponorogo yang menampilkan kemampuan bermain reog. Orang Solo yang pintar nembang dan orang Jawa yang bisa main wayang. Mereka pasti pernah menampilkan kesenian daerah asalnya di  tanah rantau.

Sekarang masuk ke perdebatan, wayang asli Indonesia atau India? Mengutip buku Wayang: Bentuk, Isi, dan Nilainya karya Darmoko, diuraikan enam pakar internasional yang menguatkan bahwa wayang berasal dari Indonesia. Sementara hanya empat pakar internasional yang menguatkan bukti bahwa wayang dari India. Persentasenya 60:40.

Penulis buku yang merupakan dosen Universitas Indonesia mengatakan, salah satu bukti yang menguatkan wayang dari Indonesia adalah cerita dan cara pementasannya.

Dalam bukunya, Darmoko menjelaskan bahwa Brandes, seorang arkeolog terkemuka dari Belanda yang ahli sejarah Jawa mengatakan, wayang menyajikan kebudayaan khas Indonesia zaman dulu.

Seperti musik dari gamelan, sistem moneter, batik, astrononomi, sistem tanam padi, hingga administrasi pemerintahan zaman kerajaan Jawa dulu. Bukti lain, beberapa istilah teknis pewayangan menggunakan bahasa Jawa, bukan Sansekerta.

Saat saya masih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) Malang pada 2010 – 2014, perdebatan tentang historis wayang menjadi salah satu topik yang tak pernah habis dibahas. Salah satunya dalam seminar, Wayang dari Indonesia atau India? Pematerinya Agus Sunyoto, salah satu dosen FIB UB yang sekaligus ketua Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia) saat itu.

Saat pembuktian wayang dari India atau Indonesia dibedah, kedua bukti sama-sama kuat. Bukti yang menguatkan wayang dari India adalah epos Mahabarata dan Ramayana yang menjadi main topic dalam setiap cerita wayang sangatlah dekat dengan kehidupan beragama masyarakat India. Bahkan, di India, cerita Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab: Balakanda, Ayodhyakanda, Aranyakanda, Kiskindhakanda, Sundarakanda, Yuddhakanda, dan Uttarakanda.

Cerita dalam setiap pewayangan sangat lekat dengan agama Hindu kuno. Di mana salah satu pusat persebaran agama Hindu kuno saat itu adalah India. Apalagi, cerita-cerita pewayangan ini banyak diangkat dari kitab-kitab agama masyarakat India. India dikuatkan bukti fisik berupa buku atau kitab yang sangat banyak beredar. Di Indonesia, literasi yang menguatkan bahwa wayang asli tanah air masih minim.

Saya sendiri yakin wayang asli dari Indonesia. Hal paling mendasar yang membuat saya yakin adalah tokoh-tokoh penamaan dalam cerita wayang. Paling sederhana nama tokoh Pandawa yang terdiri Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Dalam cerita lain, tokoh ini juga memiliki julukan Puntadewa, Werkudara, Janaka, Nakula, dan Sadewa. Dua tokoh terakhir memang tidak memiliki nama lain yang populer. Nama yang terdengar dari tokoh Pandawa di atas Jawa banget. Bukan India banget.

Dalam berbagai kisah babat tanah Jawi, dua agama tertua di Indonesia seperti Kapitayan dan Sunda Wiwitan sangat mengagungkan roh para leluhur. Dalam setiap sembahyangnya, mereka selalu mencari tempat yang tinggi dengan tujuan untuk berkomunikasi langsung dengan para leluhur. Salah satu media untuk berkomunikasi itu adalah patung. Nenek moyang zaman dulu menganggap patung adalah media untuk berkomunikasi dengan para leluhur.

Bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah, tentu sulit untuk memiliki sebuah patung yang harganya mahal. Sehingga sangat mungkin mereka membuat replika patung dari kayu, rumput, daun, dan kulit binatang. Replika patung ini yang lantas berkembang hingga direpresentasikan sebagai wayang yang digunakan untuk komunikasi kepada leluhur. Wayang ini yang terus berkembang hingga menjadi berbagai jenis, seperti wayang kulit (purwo), krucil, tengul, dan suket.

Karena itu, dalam setiap pementasan wayang selalu memberikan alur cerita yang tujuannya untuk memberikan pitutur atau nasihat kepada para penontonnya. Jika ada tokoh jahat, itu semata-mata menjadi piweling atau pengingat kita untuk mengenali yang haq dan batil. Yang baik akan memanen kebaikan. Yang jahat juga akan memanen keburukan. Tapi sekali lagi, ini hanya pendapat. Bukan jurnal ilmiah yang bisa dijadikan acuan sejarah. (*/ds)

Oleh: Yudha Satria Aditama, Wartawan Jawa Pos Radar Tuban

PADA akhir 2021, platform Instagram kembali digegerkan dengan warganet Indonesia yang ramai-ramai protes ke akun resmi Adidas. Akun media sosial (medsos) merek sepatu terkemuka itu diserbu netizen setelah memposting sepatu tipe baru bermotif wayang. Yang dipersoalkan adalah caption dari brand sepatu itu menuliskan wayang sebagai salah satu warisan kebudayaan Malaysia.

Diklaimnya wayang sebagai warisan negara tetangga selalu memunculkan ledakan di kalangan masyarakat Indonesia. Perdebatan apakah wayang milik Indonesia dan Malaysia sebenarnya sudah klir sejak lama. Indonesia dan Malaysia merupakan satu rumpun. Punya banyak kesamaan. Kulit, ras, dan sebagian sejarah perjuangan. Konon katanya, Malaysia juga sempat menjadi negara di bawah Indonesia saat masih kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada.

Ditambah hubungan diplomatik antar dua negara yang mengirim banyak orang Indonesia ke Malaysia. Jadi sangat mungkin orang Indonesia yang sudah turun temurun hidup di Malaysia menampilkan kesenian khas kampung halamannya dulu. Misalnya, orang Ponorogo yang menampilkan kemampuan bermain reog. Orang Solo yang pintar nembang dan orang Jawa yang bisa main wayang. Mereka pasti pernah menampilkan kesenian daerah asalnya di  tanah rantau.

Sekarang masuk ke perdebatan, wayang asli Indonesia atau India? Mengutip buku Wayang: Bentuk, Isi, dan Nilainya karya Darmoko, diuraikan enam pakar internasional yang menguatkan bahwa wayang berasal dari Indonesia. Sementara hanya empat pakar internasional yang menguatkan bukti bahwa wayang dari India. Persentasenya 60:40.

- Advertisement -

Penulis buku yang merupakan dosen Universitas Indonesia mengatakan, salah satu bukti yang menguatkan wayang dari Indonesia adalah cerita dan cara pementasannya.

Dalam bukunya, Darmoko menjelaskan bahwa Brandes, seorang arkeolog terkemuka dari Belanda yang ahli sejarah Jawa mengatakan, wayang menyajikan kebudayaan khas Indonesia zaman dulu.

Seperti musik dari gamelan, sistem moneter, batik, astrononomi, sistem tanam padi, hingga administrasi pemerintahan zaman kerajaan Jawa dulu. Bukti lain, beberapa istilah teknis pewayangan menggunakan bahasa Jawa, bukan Sansekerta.

Saat saya masih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) Malang pada 2010 – 2014, perdebatan tentang historis wayang menjadi salah satu topik yang tak pernah habis dibahas. Salah satunya dalam seminar, Wayang dari Indonesia atau India? Pematerinya Agus Sunyoto, salah satu dosen FIB UB yang sekaligus ketua Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia) saat itu.

Saat pembuktian wayang dari India atau Indonesia dibedah, kedua bukti sama-sama kuat. Bukti yang menguatkan wayang dari India adalah epos Mahabarata dan Ramayana yang menjadi main topic dalam setiap cerita wayang sangatlah dekat dengan kehidupan beragama masyarakat India. Bahkan, di India, cerita Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab: Balakanda, Ayodhyakanda, Aranyakanda, Kiskindhakanda, Sundarakanda, Yuddhakanda, dan Uttarakanda.

Cerita dalam setiap pewayangan sangat lekat dengan agama Hindu kuno. Di mana salah satu pusat persebaran agama Hindu kuno saat itu adalah India. Apalagi, cerita-cerita pewayangan ini banyak diangkat dari kitab-kitab agama masyarakat India. India dikuatkan bukti fisik berupa buku atau kitab yang sangat banyak beredar. Di Indonesia, literasi yang menguatkan bahwa wayang asli tanah air masih minim.

Saya sendiri yakin wayang asli dari Indonesia. Hal paling mendasar yang membuat saya yakin adalah tokoh-tokoh penamaan dalam cerita wayang. Paling sederhana nama tokoh Pandawa yang terdiri Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Dalam cerita lain, tokoh ini juga memiliki julukan Puntadewa, Werkudara, Janaka, Nakula, dan Sadewa. Dua tokoh terakhir memang tidak memiliki nama lain yang populer. Nama yang terdengar dari tokoh Pandawa di atas Jawa banget. Bukan India banget.

Dalam berbagai kisah babat tanah Jawi, dua agama tertua di Indonesia seperti Kapitayan dan Sunda Wiwitan sangat mengagungkan roh para leluhur. Dalam setiap sembahyangnya, mereka selalu mencari tempat yang tinggi dengan tujuan untuk berkomunikasi langsung dengan para leluhur. Salah satu media untuk berkomunikasi itu adalah patung. Nenek moyang zaman dulu menganggap patung adalah media untuk berkomunikasi dengan para leluhur.

Bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah, tentu sulit untuk memiliki sebuah patung yang harganya mahal. Sehingga sangat mungkin mereka membuat replika patung dari kayu, rumput, daun, dan kulit binatang. Replika patung ini yang lantas berkembang hingga direpresentasikan sebagai wayang yang digunakan untuk komunikasi kepada leluhur. Wayang ini yang terus berkembang hingga menjadi berbagai jenis, seperti wayang kulit (purwo), krucil, tengul, dan suket.

Karena itu, dalam setiap pementasan wayang selalu memberikan alur cerita yang tujuannya untuk memberikan pitutur atau nasihat kepada para penontonnya. Jika ada tokoh jahat, itu semata-mata menjadi piweling atau pengingat kita untuk mengenali yang haq dan batil. Yang baik akan memanen kebaikan. Yang jahat juga akan memanen keburukan. Tapi sekali lagi, ini hanya pendapat. Bukan jurnal ilmiah yang bisa dijadikan acuan sejarah. (*/ds)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img