spot_img
spot_img

Perempuan dalam Bayangan Perkara dan Juru Warta

spot_img

Oleh: Yusab Alfa Ziqin, Wartawan Jawa Pos Radar Tuban

AKU betul kaget ketika membuka pintu kamar hotel. Di atas ranjang bersprei putih, asisten bupati sudah bertelanjang dada. Kulit paro bayanya nampak cokelat sedikit gelap disinari lampu kamar yang temaram kekuningan. Namun, betapa pun menakutkan dan menyakitkan apa yang harus kuterima malam ini, aku menyatakan, ini merupakan saatku untuk bertaruh.

Dengan ketetapan hati untuk bertaruh itu, nyatanya aku masih kewalahan berjalan  tegap. Wajahku yang selalu dipuji cantik oleh teman-teman juga atasan, kutundukkan terus ketika melangkah mendekati asisten bupati. Ketika sampai di tepian ranjang, kekagetanku menjadi-jadi.

‘’Tidak perlu malu-malu,’’ asisten bupati menarik lenganku yang gontai. Didudukkannya aku di ranjang dan jemarinya menjajah tubuhku.

‘’Berapa uang honor pekerja yang kau korupsi, Nduk? Ceritakan padaku,” bisiknya persis di muka lubang telinga, jemarinya menggerayang pundak, berupaya turun ke dada. Dan, buluku meremang karena bisikan dan gerayangan itu.

‘’Banyak, Bapak,’’ bergetar bibirku mengucapkan.

‘’Berapa?”

“Honor setiap bulan untuk para pekerja, semua aku ambil.’’

‘’Untuk apa uang sebanyak itu? Dan, sejak kapan?’’

‘’Sejak Maret hingga Desember ini. Untuk ibuku yang menderita sakit.’’

Asisten bupati melepaskan jemarinya dari tubuhku. Dia mengingsut. Turun dari ranjang menuju meja kamar. Botol air minum sediaan hotel di atas meja diraihnya.

‘’Soal ibumu yang sedang sakit itu, engkau berbohong. Yang benar, engkau sibuk berkompetisi harta dengan sanak keluarga sendiri,’’ ucapnya setelah minum air seteguk.

Terkesiap diriku dengan jawaban asisten bupati. Dari mana dia tahu?

‘’Aku tahu semuanya, Nduk,’’ asisten bupati berjalan mendekatiku, ’’Kejaksaan sudah teken kontrak dengan pemerintah sini. Setiap perkara yang menyangkut pegawai praja, aku turut mengetahui sedetail-detailnya,’’ katanya sembari membelai pipiku.

‘’Maaf, Bapak. Memang benar demikian,’’ belaian itu dengan hati-hati kuhalau. Lalu pundakku meriut dan wajahku—yang kata teman-teman juga atasan—berjenis cantik, kutundukkan dalam-dalam.

‘’Sekarang pukul 23.00,’’ asisten bupati memperdengarkan suara batuk yang dibuat-buat, ‘’Dan, engkau baru boleh keluar dari kamar ini pukul 02.00 atau 03.00. Sampai aku habis,’’ kedua lengannya kemudian menyambar tubuhku. Aku yang bertaruh malam ini, rela memasrahkan diri!

‘’Pantas. Pantas saja. Desas-desas itu baru kubuktikan sekarang,’’ kata asisten bupati saat menindihku lepas tengah malam. Dan, aku tak memahami apa yang dia maksudkan sebagai kepantasan itu. Aku terus berpasrah .… sampai asisten bupati menyerah.

Pagi hari setelah pertaruhan malam hingga hampir subuh itu, aku masuk kerja sebagai biasa. Pagi-pagi benar aku sudah datang. Dengan pangkal paha yang masih menyisakan rasa kram, aku duduk di kursi dan menghadapi meja baru karena departemenku juga baru—setelah bupati anyar mengubah tata kedepartemenan bupati sebelumnya.

Namun, kendati departemenku baru, jabatanku masih sama seperti di departemen lama, yakni juru keuangan. Jadi kedatanganku pagi-pagi benar memang sudah wajib. Berjaga-jaga, kalau atasan ataupun teman-teman sekantor hendak melakukan perjalanan dinas, menebus suatu barang sehingga memerlukan uang dariku.

‘’Meski engkau bedaki wajah dan merahi bibir begitu, parasmu nampak pucat. Mengapa engkau? Apa bertengkar dengan suami?” kata juru tulis kantor setelah meminta uang untuk membeli tinta demi penanya.

Aku tidak suka dia hendak menggerayangi pedalaman hatiku.

‘’Tidak,’’ ketusku dan dengan lekas kuturutkan permintaannya.

‘’Maaf telah menyinggungmu,’’ juru tulis lelaki itu lantas menjauh. Meninggalkan tempatku untuk membeli tinta pena—katanya.

Setiap pegawai di departemen baru ini—juga juru tulis yang pernah memintaku bercerai dengan suami lantas menjadi istri sirinya itu—tidak pernah tahu masalahku. Mereka —utamanya yang berkelamin laki-laki!—hanya tahu bahwa aku cantik dan betapa nikmat untuk ditiduri! Soal ini, aku pernah dengar sendiri ketika tak sengaja kudengar pembicaraan mereka, termasuk kepala departemen ada dalam pembicaraan itu. Dan, aku berpikir betapa cabulnya para lelaki. Benar-benar, pendidikan dan pekerjaan sebagai pegawai praja tidak menjamin lelaki berperilaku sopan—juga asisten bupati itu.

‘’Uh, andai saja aku tidak terpaksa,’’ keluhku membela diri sendiri.

Sore pukul sekitar pukul 17.00, aku sampai rumah. Kantorku sendiri tutup pukul 16.00. Sudah biasa, aku membutuhkan waktu satu jam untuk berjalan-jalan sebelum pulang, sekalian berbelanja makanan dan jajan untuk suami berikut dua buah hati.

‘’Ibu, aku bosan makan sayur garang asem,’’ kata si bungsu menyambutku di depan pintu. Dia memeluki kakiku minta digendong.

Aku berlutut di hadapannya. Memeluki bocah lelaki yang kulahirkan lima tahun lalu itu.

‘’Engkau sudah hafal dengan bungkusan yang ibu bawa,’’ ucapku mesra, setelah melepaskan pelukan dan mengganti pelukan itu dengan memegangi pundak si bungsu menggunakan kedua tangan.

‘’Saya hafal baunya, Ibu,’’’ dia merajuk menuju dadaku, minta didekap, dipeluk lagi.

‘’Besok akan ibu belikan yang lain,’’ bungsuku kuelus-elus rambutnya lalu kubopong masuk ke dalam kamar. Di kamar yang ditempati dua anakku itu, kutemui si mbarep, berusia sepuluh tahun, sedang belajar melukis. Dan, aku sangat senang melihatnya.

Lepas maghrib, setelah membersihkan rumah dan membersihkan diri, aku dan dua anakku makam malam bersama. Sayur garang asem yang kubawa dari warung langganan tidak habis. Sejak itu, aku benar menyadari, anak-anakku memang sudah bosan dengan masakan warung Mbok Yah langgananku.

‘’Ah, seandainya aku punya waktu untuk memasak sendiri, Nak. Kumasakkan kalian dengan menu berganti-ganti dan tentu rasanya lebih nikmat. Tidak seperti masakan Mbok Yah yang kalian bosankan itu,’’ sesalku.

Sekitar pukul 21.00 suamiku pulang. Lelaki yang meminangku enam belas tahun lalu itu langsung masuk kamar. Tergeletak di sampingku dan tertidur dengan sikap yang dingin.

Kalau dihitung, sudah setahun hubunganku dengannnya dingin membeku begini. Penyebabnya, sanak keluargaku tidak suka padanya. Suami bekerja sebagai petugas keamanan pabrik dengan gaji yang tidak seberapa. Dengan gaji yang tidak seberapa itu, keluarga sepakat menyetempel suamiku adalah lelaki miskin, tidak bertanggung jawab, gagal memberi kesejahteraan yang lebih padaku dan anak-anakku.

Dan, dengan kesepakatan itu suamiku benar-benar dikucilkan. Dipandangi dengan mata terpicing. Berkali-kali kutenteramkan hati suamiku. Namun, selalu gagal. Beragam bentuk sakit hatinya disalurkannya padaku. Didiamkannya aku, dianggapnya istrinya ini berpandangan sama dengan sanak keluargaku yang tak suka padanya.

Betapa. Betapa sakit hatiku dengan perlakuan demikian. Namun, apa daya. Jujur saja, lelah telah mengidapi sekujur tubuhku, pikiranku, hatiku, jiwaku. Benar kata mendiang ibuku dulu: lelaki memang berwatak keras. Sampai di ranjang kekerasan itu bisa-bisa ditunjukkan pula.

‘’Betapa. Betapa,’’ kuratapi keteguhan hatiku sendiri.

Di pembaringan, selama rumah tangga dingin seperti itu, kami—aku dan suami—tidur bersingkursingkuran. Tidak ada yang kami bicarakan, meski daging kami hanya berjarak sekian sentimeter saja.

Jika kelelakian suamiku timbul, barulah dia merajuk. Daging kami pun bertemu, diluluri keringat, dan masih tanpa kata-kata. Hanya desah dan keluh saja yang keluar dari tenggorakan kami.

Pagi pukul 06.00, suamiku meninggalkan rumah. Dia tidak menunggu sarapan yang sedang kubuatkan. Dia melenggang begitu saja, hendak ke tempat kerja sepagi itu! Menaiki motor matik keluaran terbaru yang kubelikan dengan uang hasil korupsi honor pekerja beberapa bulan lalu. Aku melenguhkan napas berat dan panjang tiap melihat
peristiwa demikian. Kutemui dua anakku. Menyuapkan sarapan, lalu mengantar mereka ke sekolahnya masing-masing sekalian menuju kantor.

Siang hari, asisten bupati datang menemuiku di kantor. Dia memerintahkan kepala departemenku untuk membebaskan aku dari tanggung jawab sebagai juru keuangan hingga urusan dengannya rampung. Dan, dengan penuh hormat kepala departemen itu
meluluskan permintaan asisten bupati.

‘’Ke mana, Bapak?” tanyaku dalam mobil yang disopiri dia sendiri.

‘’Engkau akan tahu sendiri habis ini,’’ singkatnya.

Selang beberapa menit setelah pertanyaan itu, mobil yang dikemudikan asisten bupati ini memasuki bank. Kami berdua turun. Memasuki bank dan bertemu dengan kepala bank di ruangannya dengan udara AC 16 derajat Celsius.

Betapa dingin. Tak kudengarkan percakapan antara asisten bupati dan kepala bank itu yang ngalor ngidul tak keruan. Aku bersedekap erat menahan dingin. Dadaku tergencet lenganku dan membusung. Kepala bank sempat melihatnya dan itu membuatku terganggu.

‘’Uang itu sudah beres, Pak. Bisa diambil sekarang juga,’’ kepala bank mengucapkan kalimat ini sedikit keras dan asisten bupati tersenyum lega atas kalimat ini.

Asisten bupati berdiri dari duduknya, diikuti kepala bank, diikuti aku, kami menuju ruang brankas dan dari salah satu brankas di ruangan ini, seorang petugas bank mengeluarkan uang pecahan Rp 100 ribu berikat-ikat yang kutaksir ratusan juta jumlahnya.

Diwadahinya uang-uang itu dengan plastik dan dia menyerahkannya kepada asisten bupati. Usai menerimanya, asisten bupati dan kepala bank berjabat tangan.

‘’Semua surat-surat yang bapak agunkan, kami pastikan aman. Telat membayar angsuran, tidak masalah. Bapak punya hak istimewa,’’ kepala bank itu merangkul asisten bupati dan memandang padaku sebentar.

Di perjalanan pulang, asisten bupati menjelaskan semuanya padaku sambil menyopiri mobilnya. Dia mengatakan, uang yang kutaksir ratusan juta dari bank itu semuanya diberikan untukku. Boleh dicicil kapan saja. Bisa dengan uang, atau dengan daging mudaku, katanya.

Dia mengkhususkan uang dari bank itu hanya boleh kugunakan untuk mengembalikan semua honor pekerja yang kukorupsi.

Senang bercampur takut kudengar penjelasan ini. Di sisi lain aku bisa aman dari korupsi yang memeningkan kepala, di sisi lain betapa gelisah aku harus menyerahkan diri ada berahinya yang menyala-nyala.

‘’Semuanya sudah kuatur rapi. Engkau cuma harus menerima konsekuensi saja,’’ asisten bupati membelai pahaku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap pada kemudi.

‘’Benar aman-aman, Bapak?’’ cemasku.

‘’Aman sungguh. Kecuali …,’’ dia melepaskan belaian di pahaku.

‘’Kecuali apa, Bapak?’’

‘’Kecuali seorang juru warta mengetahui hal ini. Dan, dia berikut bos perusahaan medianya tak bisa ditutup mulutnya dengan uang, proyek, atau perempuan.’’ (*)

5 Agutus 2022

Oleh: Yusab Alfa Ziqin, Wartawan Jawa Pos Radar Tuban

AKU betul kaget ketika membuka pintu kamar hotel. Di atas ranjang bersprei putih, asisten bupati sudah bertelanjang dada. Kulit paro bayanya nampak cokelat sedikit gelap disinari lampu kamar yang temaram kekuningan. Namun, betapa pun menakutkan dan menyakitkan apa yang harus kuterima malam ini, aku menyatakan, ini merupakan saatku untuk bertaruh.

Dengan ketetapan hati untuk bertaruh itu, nyatanya aku masih kewalahan berjalan  tegap. Wajahku yang selalu dipuji cantik oleh teman-teman juga atasan, kutundukkan terus ketika melangkah mendekati asisten bupati. Ketika sampai di tepian ranjang, kekagetanku menjadi-jadi.

‘’Tidak perlu malu-malu,’’ asisten bupati menarik lenganku yang gontai. Didudukkannya aku di ranjang dan jemarinya menjajah tubuhku.

‘’Berapa uang honor pekerja yang kau korupsi, Nduk? Ceritakan padaku,” bisiknya persis di muka lubang telinga, jemarinya menggerayang pundak, berupaya turun ke dada. Dan, buluku meremang karena bisikan dan gerayangan itu.

- Advertisement -

‘’Banyak, Bapak,’’ bergetar bibirku mengucapkan.

‘’Berapa?”

“Honor setiap bulan untuk para pekerja, semua aku ambil.’’

‘’Untuk apa uang sebanyak itu? Dan, sejak kapan?’’

‘’Sejak Maret hingga Desember ini. Untuk ibuku yang menderita sakit.’’

Asisten bupati melepaskan jemarinya dari tubuhku. Dia mengingsut. Turun dari ranjang menuju meja kamar. Botol air minum sediaan hotel di atas meja diraihnya.

‘’Soal ibumu yang sedang sakit itu, engkau berbohong. Yang benar, engkau sibuk berkompetisi harta dengan sanak keluarga sendiri,’’ ucapnya setelah minum air seteguk.

Terkesiap diriku dengan jawaban asisten bupati. Dari mana dia tahu?

‘’Aku tahu semuanya, Nduk,’’ asisten bupati berjalan mendekatiku, ’’Kejaksaan sudah teken kontrak dengan pemerintah sini. Setiap perkara yang menyangkut pegawai praja, aku turut mengetahui sedetail-detailnya,’’ katanya sembari membelai pipiku.

‘’Maaf, Bapak. Memang benar demikian,’’ belaian itu dengan hati-hati kuhalau. Lalu pundakku meriut dan wajahku—yang kata teman-teman juga atasan—berjenis cantik, kutundukkan dalam-dalam.

‘’Sekarang pukul 23.00,’’ asisten bupati memperdengarkan suara batuk yang dibuat-buat, ‘’Dan, engkau baru boleh keluar dari kamar ini pukul 02.00 atau 03.00. Sampai aku habis,’’ kedua lengannya kemudian menyambar tubuhku. Aku yang bertaruh malam ini, rela memasrahkan diri!

‘’Pantas. Pantas saja. Desas-desas itu baru kubuktikan sekarang,’’ kata asisten bupati saat menindihku lepas tengah malam. Dan, aku tak memahami apa yang dia maksudkan sebagai kepantasan itu. Aku terus berpasrah .… sampai asisten bupati menyerah.

Pagi hari setelah pertaruhan malam hingga hampir subuh itu, aku masuk kerja sebagai biasa. Pagi-pagi benar aku sudah datang. Dengan pangkal paha yang masih menyisakan rasa kram, aku duduk di kursi dan menghadapi meja baru karena departemenku juga baru—setelah bupati anyar mengubah tata kedepartemenan bupati sebelumnya.

Namun, kendati departemenku baru, jabatanku masih sama seperti di departemen lama, yakni juru keuangan. Jadi kedatanganku pagi-pagi benar memang sudah wajib. Berjaga-jaga, kalau atasan ataupun teman-teman sekantor hendak melakukan perjalanan dinas, menebus suatu barang sehingga memerlukan uang dariku.

‘’Meski engkau bedaki wajah dan merahi bibir begitu, parasmu nampak pucat. Mengapa engkau? Apa bertengkar dengan suami?” kata juru tulis kantor setelah meminta uang untuk membeli tinta demi penanya.

Aku tidak suka dia hendak menggerayangi pedalaman hatiku.

‘’Tidak,’’ ketusku dan dengan lekas kuturutkan permintaannya.

‘’Maaf telah menyinggungmu,’’ juru tulis lelaki itu lantas menjauh. Meninggalkan tempatku untuk membeli tinta pena—katanya.

Setiap pegawai di departemen baru ini—juga juru tulis yang pernah memintaku bercerai dengan suami lantas menjadi istri sirinya itu—tidak pernah tahu masalahku. Mereka —utamanya yang berkelamin laki-laki!—hanya tahu bahwa aku cantik dan betapa nikmat untuk ditiduri! Soal ini, aku pernah dengar sendiri ketika tak sengaja kudengar pembicaraan mereka, termasuk kepala departemen ada dalam pembicaraan itu. Dan, aku berpikir betapa cabulnya para lelaki. Benar-benar, pendidikan dan pekerjaan sebagai pegawai praja tidak menjamin lelaki berperilaku sopan—juga asisten bupati itu.

‘’Uh, andai saja aku tidak terpaksa,’’ keluhku membela diri sendiri.

Sore pukul sekitar pukul 17.00, aku sampai rumah. Kantorku sendiri tutup pukul 16.00. Sudah biasa, aku membutuhkan waktu satu jam untuk berjalan-jalan sebelum pulang, sekalian berbelanja makanan dan jajan untuk suami berikut dua buah hati.

‘’Ibu, aku bosan makan sayur garang asem,’’ kata si bungsu menyambutku di depan pintu. Dia memeluki kakiku minta digendong.

Aku berlutut di hadapannya. Memeluki bocah lelaki yang kulahirkan lima tahun lalu itu.

‘’Engkau sudah hafal dengan bungkusan yang ibu bawa,’’ ucapku mesra, setelah melepaskan pelukan dan mengganti pelukan itu dengan memegangi pundak si bungsu menggunakan kedua tangan.

‘’Saya hafal baunya, Ibu,’’’ dia merajuk menuju dadaku, minta didekap, dipeluk lagi.

‘’Besok akan ibu belikan yang lain,’’ bungsuku kuelus-elus rambutnya lalu kubopong masuk ke dalam kamar. Di kamar yang ditempati dua anakku itu, kutemui si mbarep, berusia sepuluh tahun, sedang belajar melukis. Dan, aku sangat senang melihatnya.

Lepas maghrib, setelah membersihkan rumah dan membersihkan diri, aku dan dua anakku makam malam bersama. Sayur garang asem yang kubawa dari warung langganan tidak habis. Sejak itu, aku benar menyadari, anak-anakku memang sudah bosan dengan masakan warung Mbok Yah langgananku.

‘’Ah, seandainya aku punya waktu untuk memasak sendiri, Nak. Kumasakkan kalian dengan menu berganti-ganti dan tentu rasanya lebih nikmat. Tidak seperti masakan Mbok Yah yang kalian bosankan itu,’’ sesalku.

Sekitar pukul 21.00 suamiku pulang. Lelaki yang meminangku enam belas tahun lalu itu langsung masuk kamar. Tergeletak di sampingku dan tertidur dengan sikap yang dingin.

Kalau dihitung, sudah setahun hubunganku dengannnya dingin membeku begini. Penyebabnya, sanak keluargaku tidak suka padanya. Suami bekerja sebagai petugas keamanan pabrik dengan gaji yang tidak seberapa. Dengan gaji yang tidak seberapa itu, keluarga sepakat menyetempel suamiku adalah lelaki miskin, tidak bertanggung jawab, gagal memberi kesejahteraan yang lebih padaku dan anak-anakku.

Dan, dengan kesepakatan itu suamiku benar-benar dikucilkan. Dipandangi dengan mata terpicing. Berkali-kali kutenteramkan hati suamiku. Namun, selalu gagal. Beragam bentuk sakit hatinya disalurkannya padaku. Didiamkannya aku, dianggapnya istrinya ini berpandangan sama dengan sanak keluargaku yang tak suka padanya.

Betapa. Betapa sakit hatiku dengan perlakuan demikian. Namun, apa daya. Jujur saja, lelah telah mengidapi sekujur tubuhku, pikiranku, hatiku, jiwaku. Benar kata mendiang ibuku dulu: lelaki memang berwatak keras. Sampai di ranjang kekerasan itu bisa-bisa ditunjukkan pula.

‘’Betapa. Betapa,’’ kuratapi keteguhan hatiku sendiri.

Di pembaringan, selama rumah tangga dingin seperti itu, kami—aku dan suami—tidur bersingkursingkuran. Tidak ada yang kami bicarakan, meski daging kami hanya berjarak sekian sentimeter saja.

Jika kelelakian suamiku timbul, barulah dia merajuk. Daging kami pun bertemu, diluluri keringat, dan masih tanpa kata-kata. Hanya desah dan keluh saja yang keluar dari tenggorakan kami.

Pagi pukul 06.00, suamiku meninggalkan rumah. Dia tidak menunggu sarapan yang sedang kubuatkan. Dia melenggang begitu saja, hendak ke tempat kerja sepagi itu! Menaiki motor matik keluaran terbaru yang kubelikan dengan uang hasil korupsi honor pekerja beberapa bulan lalu. Aku melenguhkan napas berat dan panjang tiap melihat
peristiwa demikian. Kutemui dua anakku. Menyuapkan sarapan, lalu mengantar mereka ke sekolahnya masing-masing sekalian menuju kantor.

Siang hari, asisten bupati datang menemuiku di kantor. Dia memerintahkan kepala departemenku untuk membebaskan aku dari tanggung jawab sebagai juru keuangan hingga urusan dengannya rampung. Dan, dengan penuh hormat kepala departemen itu
meluluskan permintaan asisten bupati.

‘’Ke mana, Bapak?” tanyaku dalam mobil yang disopiri dia sendiri.

‘’Engkau akan tahu sendiri habis ini,’’ singkatnya.

Selang beberapa menit setelah pertanyaan itu, mobil yang dikemudikan asisten bupati ini memasuki bank. Kami berdua turun. Memasuki bank dan bertemu dengan kepala bank di ruangannya dengan udara AC 16 derajat Celsius.

Betapa dingin. Tak kudengarkan percakapan antara asisten bupati dan kepala bank itu yang ngalor ngidul tak keruan. Aku bersedekap erat menahan dingin. Dadaku tergencet lenganku dan membusung. Kepala bank sempat melihatnya dan itu membuatku terganggu.

‘’Uang itu sudah beres, Pak. Bisa diambil sekarang juga,’’ kepala bank mengucapkan kalimat ini sedikit keras dan asisten bupati tersenyum lega atas kalimat ini.

Asisten bupati berdiri dari duduknya, diikuti kepala bank, diikuti aku, kami menuju ruang brankas dan dari salah satu brankas di ruangan ini, seorang petugas bank mengeluarkan uang pecahan Rp 100 ribu berikat-ikat yang kutaksir ratusan juta jumlahnya.

Diwadahinya uang-uang itu dengan plastik dan dia menyerahkannya kepada asisten bupati. Usai menerimanya, asisten bupati dan kepala bank berjabat tangan.

‘’Semua surat-surat yang bapak agunkan, kami pastikan aman. Telat membayar angsuran, tidak masalah. Bapak punya hak istimewa,’’ kepala bank itu merangkul asisten bupati dan memandang padaku sebentar.

Di perjalanan pulang, asisten bupati menjelaskan semuanya padaku sambil menyopiri mobilnya. Dia mengatakan, uang yang kutaksir ratusan juta dari bank itu semuanya diberikan untukku. Boleh dicicil kapan saja. Bisa dengan uang, atau dengan daging mudaku, katanya.

Dia mengkhususkan uang dari bank itu hanya boleh kugunakan untuk mengembalikan semua honor pekerja yang kukorupsi.

Senang bercampur takut kudengar penjelasan ini. Di sisi lain aku bisa aman dari korupsi yang memeningkan kepala, di sisi lain betapa gelisah aku harus menyerahkan diri ada berahinya yang menyala-nyala.

‘’Semuanya sudah kuatur rapi. Engkau cuma harus menerima konsekuensi saja,’’ asisten bupati membelai pahaku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap pada kemudi.

‘’Benar aman-aman, Bapak?’’ cemasku.

‘’Aman sungguh. Kecuali …,’’ dia melepaskan belaian di pahaku.

‘’Kecuali apa, Bapak?’’

‘’Kecuali seorang juru warta mengetahui hal ini. Dan, dia berikut bos perusahaan medianya tak bisa ditutup mulutnya dengan uang, proyek, atau perempuan.’’ (*)

5 Agutus 2022

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img