spot_img
spot_img

Taman Pikiran Terbuka

spot_img

Saya orang Tuban bangga. Bangga ibu kota kabupaten bersolek. Sleko dan alun-alun sebelah utara menjelma menjadi taman terbuka. Disusul keterbukaan pola bangunan GOR, yang dekat kantor DPRD itu.  Rest Area eks terminal lama pun bersulap menjadi ruang publik terbuka.  Hanya saja belum juga buka-buka. Pun juga Taman Wire, digempuri dan menjelma menjadi ruang bermain warga, dolanan kawula muda, yang juga berciri sama: terbuka.

ADA satu hioptesis yang sama bahwa ruang publik Tuban berciri terbuka. Apa makna di balik cara menata kota secara terbuka?

Cak-SaribanKeterbukaan ruang setidaknya dapat dipersepsi begini.

Keluasan

Kini, jika kita melintasi Sleko, GOR, terminal lama (belum dibuka), dan Taman Hutan Kota Wire, rasanya beda yang dulu-dulu.

Kita dulu tak tahu isi di dalamnya sebelum masuk.

Sekarang kita tahu karena tak lagi terhalang  pagar.

Rasa kita juga berubah. Dulu rasanya ruang- ruang itu sempit. Sekarang tampak lebih luas.

Ini hanya soal rasa. Faktanya sama. Ukuran tanahnya tak berubah.

Ada kesimpulan sementara: model bangunan membentuk kesan rasa yang berbeda.

Rasa sangat dikendalikan oleh penampakan apa yang dilihat mata. Maka, terasalah setiap gaya kepemimpinan itu.

Wajar pula setiap pemimpin menampilkan model wujud kepemimpinannya.

Wujud itu dapat berupa visi kota, jargon kota, tipologi bangunan kota, bahkan sampai pula warna cat bangunan kantor-kantor, hingga seragam warga.

Kembali soal, model tata desain bangunan fasilitas umum kota kita yang terbuka.

Dalam paradigma berpikir gothak-gathuk maton, kita punya kebanggaan oleh ‘kesan luas’ atas model terbuka tadi.

Pemimpin kita berpikir luas. Pejabat kita berpikir luas. Rakyat kita berpikir luas.

Pemuda kita berpikir luas. Para warga yang menganggur pun berpikir luas.

Keluasan berpikir ditandai oleh pandangan jauh. Pandangan jauh menyebabkan seseorang mampu berpikir dari berbagai arah.

Karena cara pandangnya tidak tunggal, mereka selalu memberi ruang bagi yang berbeda.

Mereka menapaki hidup toleran. Karena toleran, mereka tentu tak mudah marah. Apalagi membenci.

Ya, itu idealisasi warga kota kita. Sebagai idealisasi, alangkah indahnya manakala pemanfaatan ruang publik yang dibangun oleh anggaran pendapatan daerah itu ditambahkan pula sebagai tempat ‘tukar gagasan warga’ secara terbuka.

Diskusi kaum ‘suka bicara’ perlu difasilitasi di tempat terbuka ini.

Pementasan karya seni Tuban perlu difasilitasi di tempat terbuka ini.

Jagong kebudayaan perlu difasilitasi di tempat terbuka ini.

Rembuk anak muda kreatif Tuban perlu difasilitasi di tempat terbuka ini. Syukur ada lomba ‘rasan-rasan solutif’ bagi pemimpin bangsa menjelang coblosan perlu difasilitasi di tempat terbuka ini.

Imajinasi Ketubanan
Berkesan luas tak sekadar ‘kasunyatan penglihatan kasat mata kewilayahan’.

Berkesan luas lebih dari itu adalah cara berpikir dan operasional pemanfaatan berpikir luas.

Bagaimana cara berpikir luas? Warga Tuban secara imajinatif adalah warga yang berpikir paradogsal.

Buku sejarah bercerita kepada kita, bahwa Tuban selalu saja sebuah emperium kecil.

Kecil tetapi mampu memiliki kekuatan besar secara daya tawar.

Majapahit dulu memandang Tuban tak sekadar kadipaten. Pun juga Kerajaan Demak  pasca tumbangnya Majapahit.

Dalam pandangan Pajang dan Mataram pun, Tuban selalu dilihat sebagai wilayah yang paradogsal oleh pola pikir pemimpin dan masyarakatnya.

Terlepas diksi ‘Tuban sebagai pemberontak’. Orang Tuban sejak dulunya dulu selalu berpikir bagaimana wilayah utara ini menjadi ‘krajan’.

Jika pun tak mungkin, idealisasi kota ini tumbuh menjadi sentrum Jawa harus selalu ada di dada kita.
Tawaran-tawaran pi kiran ‘Tuban perlu memiliki perguruan tinggi negeri’ seperti yang ditulis kawan Atho’illah dalam koran ini, bukanlah sebuah kemustahilan.

Simbol dan filosofi terbuka mendorong paradogsal ‘berpikir terbuka’.

Terbuka memandang dari dalam diri ke luar. Juga sebaliknya, berpikir dari luar ke dalam.

Dalam kacamata berpikir terbuka secara paradogsal, tidak ada kesimpulan berpikir ‘tidak mungkin’.

Semua serba mungkin. Cara berpikir serba mungkin memberi peluang Tuban secara terbuka mewujudkan idealisasinya.

Taman kota tidak sekadar ruang terbuka sebagai tempat mencari makan, berolah raga, dan berekreasi murah.

Tak sekadar pembangunan ruang terbuka sebagai pengungkit ekonomi UMKM.

Di balik simbol ‘desain terbuka’, peluang berpikir melampaui batas berpikir kenormalan harus menjadi keyakinan rakyat dan pemimpin.

Tuban jika ingin menjadi ‘krajan’ maka peluang pemanfaatan darat, udara, dan laut.

Secara imajinatif kedaratan, tak mustahil Tuban berpikir dilintasi rel kereta api penghubung kota-kota di Jawa.

Jika pun dilewati jalan tol, maka harus ada akses orang turun kendaraan antarkota di Tuban.

Dari imajinatif keudaraan, tak mustahil Tuban berpikir memiliki lapangan kapal terbang seperti Jember, Banyuwangi, dan Kediri.

Secara imajinatif kelautan, tak mustahil Tuban berpikir memiliki pelabuhan penghubung ibu kota baru di Kabupaten Panajam Kalimantan itu dan penghubung kota-kota di Indonesia sebagai sarana perpindahan barang dan orang.

Pertanyaan besarnya, bagaimana orang dan barang banyak yang datang ke Tuban? Hal ini harus dipikir bareng-bareng di ruang terbuka kita. Hahaha… (*)


*)Cak Sariban adalah warga Tuban, pendidik pengerak literasi yang mengampanyekan jargon ‘Tertawa Tanda Warga Pramuka’ di lingkungannya.

Saya orang Tuban bangga. Bangga ibu kota kabupaten bersolek. Sleko dan alun-alun sebelah utara menjelma menjadi taman terbuka. Disusul keterbukaan pola bangunan GOR, yang dekat kantor DPRD itu.  Rest Area eks terminal lama pun bersulap menjadi ruang publik terbuka.  Hanya saja belum juga buka-buka. Pun juga Taman Wire, digempuri dan menjelma menjadi ruang bermain warga, dolanan kawula muda, yang juga berciri sama: terbuka.

ADA satu hioptesis yang sama bahwa ruang publik Tuban berciri terbuka. Apa makna di balik cara menata kota secara terbuka?

Cak-SaribanKeterbukaan ruang setidaknya dapat dipersepsi begini.

Keluasan

Kini, jika kita melintasi Sleko, GOR, terminal lama (belum dibuka), dan Taman Hutan Kota Wire, rasanya beda yang dulu-dulu.

- Advertisement -

Kita dulu tak tahu isi di dalamnya sebelum masuk.

Sekarang kita tahu karena tak lagi terhalang  pagar.

Rasa kita juga berubah. Dulu rasanya ruang- ruang itu sempit. Sekarang tampak lebih luas.

Ini hanya soal rasa. Faktanya sama. Ukuran tanahnya tak berubah.

Ada kesimpulan sementara: model bangunan membentuk kesan rasa yang berbeda.

Rasa sangat dikendalikan oleh penampakan apa yang dilihat mata. Maka, terasalah setiap gaya kepemimpinan itu.

Wajar pula setiap pemimpin menampilkan model wujud kepemimpinannya.

Wujud itu dapat berupa visi kota, jargon kota, tipologi bangunan kota, bahkan sampai pula warna cat bangunan kantor-kantor, hingga seragam warga.

Kembali soal, model tata desain bangunan fasilitas umum kota kita yang terbuka.

Dalam paradigma berpikir gothak-gathuk maton, kita punya kebanggaan oleh ‘kesan luas’ atas model terbuka tadi.

Pemimpin kita berpikir luas. Pejabat kita berpikir luas. Rakyat kita berpikir luas.

Pemuda kita berpikir luas. Para warga yang menganggur pun berpikir luas.

Keluasan berpikir ditandai oleh pandangan jauh. Pandangan jauh menyebabkan seseorang mampu berpikir dari berbagai arah.

Karena cara pandangnya tidak tunggal, mereka selalu memberi ruang bagi yang berbeda.

Mereka menapaki hidup toleran. Karena toleran, mereka tentu tak mudah marah. Apalagi membenci.

Ya, itu idealisasi warga kota kita. Sebagai idealisasi, alangkah indahnya manakala pemanfaatan ruang publik yang dibangun oleh anggaran pendapatan daerah itu ditambahkan pula sebagai tempat ‘tukar gagasan warga’ secara terbuka.

Diskusi kaum ‘suka bicara’ perlu difasilitasi di tempat terbuka ini.

Pementasan karya seni Tuban perlu difasilitasi di tempat terbuka ini.

Jagong kebudayaan perlu difasilitasi di tempat terbuka ini.

Rembuk anak muda kreatif Tuban perlu difasilitasi di tempat terbuka ini. Syukur ada lomba ‘rasan-rasan solutif’ bagi pemimpin bangsa menjelang coblosan perlu difasilitasi di tempat terbuka ini.

Imajinasi Ketubanan
Berkesan luas tak sekadar ‘kasunyatan penglihatan kasat mata kewilayahan’.

Berkesan luas lebih dari itu adalah cara berpikir dan operasional pemanfaatan berpikir luas.

Bagaimana cara berpikir luas? Warga Tuban secara imajinatif adalah warga yang berpikir paradogsal.

Buku sejarah bercerita kepada kita, bahwa Tuban selalu saja sebuah emperium kecil.

Kecil tetapi mampu memiliki kekuatan besar secara daya tawar.

Majapahit dulu memandang Tuban tak sekadar kadipaten. Pun juga Kerajaan Demak  pasca tumbangnya Majapahit.

Dalam pandangan Pajang dan Mataram pun, Tuban selalu dilihat sebagai wilayah yang paradogsal oleh pola pikir pemimpin dan masyarakatnya.

Terlepas diksi ‘Tuban sebagai pemberontak’. Orang Tuban sejak dulunya dulu selalu berpikir bagaimana wilayah utara ini menjadi ‘krajan’.

Jika pun tak mungkin, idealisasi kota ini tumbuh menjadi sentrum Jawa harus selalu ada di dada kita.
Tawaran-tawaran pi kiran ‘Tuban perlu memiliki perguruan tinggi negeri’ seperti yang ditulis kawan Atho’illah dalam koran ini, bukanlah sebuah kemustahilan.

Simbol dan filosofi terbuka mendorong paradogsal ‘berpikir terbuka’.

Terbuka memandang dari dalam diri ke luar. Juga sebaliknya, berpikir dari luar ke dalam.

Dalam kacamata berpikir terbuka secara paradogsal, tidak ada kesimpulan berpikir ‘tidak mungkin’.

Semua serba mungkin. Cara berpikir serba mungkin memberi peluang Tuban secara terbuka mewujudkan idealisasinya.

Taman kota tidak sekadar ruang terbuka sebagai tempat mencari makan, berolah raga, dan berekreasi murah.

Tak sekadar pembangunan ruang terbuka sebagai pengungkit ekonomi UMKM.

Di balik simbol ‘desain terbuka’, peluang berpikir melampaui batas berpikir kenormalan harus menjadi keyakinan rakyat dan pemimpin.

Tuban jika ingin menjadi ‘krajan’ maka peluang pemanfaatan darat, udara, dan laut.

Secara imajinatif kedaratan, tak mustahil Tuban berpikir dilintasi rel kereta api penghubung kota-kota di Jawa.

Jika pun dilewati jalan tol, maka harus ada akses orang turun kendaraan antarkota di Tuban.

Dari imajinatif keudaraan, tak mustahil Tuban berpikir memiliki lapangan kapal terbang seperti Jember, Banyuwangi, dan Kediri.

Secara imajinatif kelautan, tak mustahil Tuban berpikir memiliki pelabuhan penghubung ibu kota baru di Kabupaten Panajam Kalimantan itu dan penghubung kota-kota di Indonesia sebagai sarana perpindahan barang dan orang.

Pertanyaan besarnya, bagaimana orang dan barang banyak yang datang ke Tuban? Hal ini harus dipikir bareng-bareng di ruang terbuka kita. Hahaha… (*)


*)Cak Sariban adalah warga Tuban, pendidik pengerak literasi yang mengampanyekan jargon ‘Tertawa Tanda Warga Pramuka’ di lingkungannya.

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img