spot_img
spot_img

Ijon dan Kemelaratan Nelayan

spot_img

Oleh: Yusab Alfa Ziqin, Wartawan Jawa Pos Radar Tuban

SEJAK era kolonial, sistem ijon telah membumi di Indonesia.  Paling terkenal, ketika dilangsungkannya sistem cultur stelsel atau tanam paksa besutan Johannes van Den Bosch pada 1830. Ketika itu, Indonesia masih bernama Hindia Belanda dan digagahi oleh Belanda. Sistem yang dibentuk harus berjalan demi mengisi kas Belanda yang habis akibat bertempur dengan Diponegoro (Perang Jawa 1825-1830).

Lima tahun cultur stelsel berjalan, kas negeri kincir angin memulih. Namun, kecepatan pemulihan kas negara tersebut harus dibayar mahal. Pelan-pelan rakyat pribumi menderita dan mati setelah tercekik sistem tanam paksa. Tak terhitung berapa rakyat pribumi yang mati akibat sistem pinjaman yang hanya menguntungkan penjajah tersebut.

Banyaknya pribumi mati akibat sistem tanam paksa tersebut didukung banyak literatur, seperti dalam surat-surat RA Kartini yang dikirim ke Estella Zeehandelar, yang kemudian dihimpun Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya berjudul Panggil Aku Kartini Saja. Dalam buku tersebut, Pram—sapaan Pramoedya Ananta Toer memberikan banyak gambaran tentang ribuan orang tewas akibat sistem tanam paksa. Pun yang ditulis Multatuli dalam buku Max Havellar, juga memberikan gamabaran tanam paksa memilukan melalui fragmen cerita Saijah dan Adinda. Ribuan pribumi yang dipekerjakan secara paksa itu mati akibat menderita kelaparan dan terserang penyakit malaria.

Hari ini, menggunakan kaca mata kemanusiaan yang sama, tanam paksa bisa dilihat sebagai ijon. Dulu, J. Van Den Bosch memberi iming-iming kesejahteraan yang agung bagi para pekerjanya. Syaratnya, semua hasil kerja harus diserahkan kepadanya dan uang kas berhasil menumpuk lagi. Sayang, ketika dua syarat itu terpenuhi dan pekerjanya sama mati, kesejahteraan bagi pekerja itu bohong belaka. Bahkan, hingga cultur stelsel dihentikan pada 1870.

Pada 2022 ini, sistem yang mirip demikian ditemukan di peisir Tuban. Tepatnya di tambat labuh Karangsari. Di pertambatan perahu itu, orang bercerita bahwa selama 26 tahun menjadi nelayan, dirinya serupa hamba belaka. Sedang, rajanya adalah para juragan pengepul ikan. Sebagai hamba, dia harus giat bekerja. Jika tidak ada modal, juragan siap memberikan pinjaman. Syaratnya, ikan yang dia tangkap harus diserahkan ke juragan yang memberikan pinjaman, tak boleh ke juragan lain. Dan nelayan akan mendapatkan imbalan uang secukupnya (menurut hitungan juragan), plus rokok satu bungkus.

Hari bagus jika nelayan yang melaut mampu menangkap ikan banyak. Namun, jika tidak, tentu akan membawa masalah. Praktis, jika ikan yang ditangkap sedikit, uang ‘secukupnya’ yang diberikan juragan pun semakin ‘secukupnya’. Dampaknya, utang modal hari itu tak terbayarkan—menumpuk-menimbun menjadi satu dengan utang yang sebelum-sebelumnya. Utang itulah yang kemudian menjadi rantai besi berkarat menjerat nelayan sampai hari matinya.

Sesungguhnya, sebuah kemakluman fenomena ijon tersebut terjadi di pesisir mengingat latar belakang ekonomi dan pendidikan para nelayan cenderng berada di taraf menengah ke bawah. Namun, apakah sistem tersebut sehat jika berlangsung terus-menerus? Tentu, jika nurani orang-orang mampu berkata, maka akan mengucapkan ‘tidak’ dengan tegas. Sayang, bahwa letak nurani ada di dalam. Sehingga, pernyataan ‘tidak’ itu tak bisa meluas ke publik dan menjadi isu hangat yang harus dicarikan solusi.

Terkhusus Pemerintah Kabupaten Tuban, bagaimana menanggapi hal ini? Sudah barang tentu, pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab. Sebab, jawaban itu selalu kita lihat setiap kali melintas di Jalan Panglima Sudirman, Kota Tuban yang membelah Kelurahan Kingking dan Karangsari itu. Ketika menengok ke kanan ataupun kiri, yang tampak adalah perkampungan marginal. Juga semerbak bau amis kemiskinan. (*)

Oleh: Yusab Alfa Ziqin, Wartawan Jawa Pos Radar Tuban

SEJAK era kolonial, sistem ijon telah membumi di Indonesia.  Paling terkenal, ketika dilangsungkannya sistem cultur stelsel atau tanam paksa besutan Johannes van Den Bosch pada 1830. Ketika itu, Indonesia masih bernama Hindia Belanda dan digagahi oleh Belanda. Sistem yang dibentuk harus berjalan demi mengisi kas Belanda yang habis akibat bertempur dengan Diponegoro (Perang Jawa 1825-1830).

Lima tahun cultur stelsel berjalan, kas negeri kincir angin memulih. Namun, kecepatan pemulihan kas negara tersebut harus dibayar mahal. Pelan-pelan rakyat pribumi menderita dan mati setelah tercekik sistem tanam paksa. Tak terhitung berapa rakyat pribumi yang mati akibat sistem pinjaman yang hanya menguntungkan penjajah tersebut.

Banyaknya pribumi mati akibat sistem tanam paksa tersebut didukung banyak literatur, seperti dalam surat-surat RA Kartini yang dikirim ke Estella Zeehandelar, yang kemudian dihimpun Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya berjudul Panggil Aku Kartini Saja. Dalam buku tersebut, Pram—sapaan Pramoedya Ananta Toer memberikan banyak gambaran tentang ribuan orang tewas akibat sistem tanam paksa. Pun yang ditulis Multatuli dalam buku Max Havellar, juga memberikan gamabaran tanam paksa memilukan melalui fragmen cerita Saijah dan Adinda. Ribuan pribumi yang dipekerjakan secara paksa itu mati akibat menderita kelaparan dan terserang penyakit malaria.

Hari ini, menggunakan kaca mata kemanusiaan yang sama, tanam paksa bisa dilihat sebagai ijon. Dulu, J. Van Den Bosch memberi iming-iming kesejahteraan yang agung bagi para pekerjanya. Syaratnya, semua hasil kerja harus diserahkan kepadanya dan uang kas berhasil menumpuk lagi. Sayang, ketika dua syarat itu terpenuhi dan pekerjanya sama mati, kesejahteraan bagi pekerja itu bohong belaka. Bahkan, hingga cultur stelsel dihentikan pada 1870.

- Advertisement -

Pada 2022 ini, sistem yang mirip demikian ditemukan di peisir Tuban. Tepatnya di tambat labuh Karangsari. Di pertambatan perahu itu, orang bercerita bahwa selama 26 tahun menjadi nelayan, dirinya serupa hamba belaka. Sedang, rajanya adalah para juragan pengepul ikan. Sebagai hamba, dia harus giat bekerja. Jika tidak ada modal, juragan siap memberikan pinjaman. Syaratnya, ikan yang dia tangkap harus diserahkan ke juragan yang memberikan pinjaman, tak boleh ke juragan lain. Dan nelayan akan mendapatkan imbalan uang secukupnya (menurut hitungan juragan), plus rokok satu bungkus.

Hari bagus jika nelayan yang melaut mampu menangkap ikan banyak. Namun, jika tidak, tentu akan membawa masalah. Praktis, jika ikan yang ditangkap sedikit, uang ‘secukupnya’ yang diberikan juragan pun semakin ‘secukupnya’. Dampaknya, utang modal hari itu tak terbayarkan—menumpuk-menimbun menjadi satu dengan utang yang sebelum-sebelumnya. Utang itulah yang kemudian menjadi rantai besi berkarat menjerat nelayan sampai hari matinya.

Sesungguhnya, sebuah kemakluman fenomena ijon tersebut terjadi di pesisir mengingat latar belakang ekonomi dan pendidikan para nelayan cenderng berada di taraf menengah ke bawah. Namun, apakah sistem tersebut sehat jika berlangsung terus-menerus? Tentu, jika nurani orang-orang mampu berkata, maka akan mengucapkan ‘tidak’ dengan tegas. Sayang, bahwa letak nurani ada di dalam. Sehingga, pernyataan ‘tidak’ itu tak bisa meluas ke publik dan menjadi isu hangat yang harus dicarikan solusi.

Terkhusus Pemerintah Kabupaten Tuban, bagaimana menanggapi hal ini? Sudah barang tentu, pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab. Sebab, jawaban itu selalu kita lihat setiap kali melintas di Jalan Panglima Sudirman, Kota Tuban yang membelah Kelurahan Kingking dan Karangsari itu. Ketika menengok ke kanan ataupun kiri, yang tampak adalah perkampungan marginal. Juga semerbak bau amis kemiskinan. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

Seperti Perangkat

Yang Sadar akan Gelisah

Hilangnya Asas Kerahasiaan

spot_img