TUBAN – Ombudsman RI telah menerima 239 laporan masyarakat terkait isu perkelapasawitan sejak tahun 2018 sampai dengan 2023 dan setiap tahunnya jumlah laporan masyarakat relatif meningkat.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam keterangan tertulis resmi di Jakarta, Kamis.mengatakan, terkait laporan tersebut, pihaknya juga telah meminta data dan keterangan dari kementerian/lembaga terkait.
Dari data dan keterangan yang diperoleh terdapat beberapa aspek permasalahan, yakni terkait aspek lahan, perizinan, dan tata niaga.
“Substansi pada perkelapasawitan adalah agraria, perkebunan, pertanian pangan, penegakan hukum, perizinan, dan kehutanan,” ucap Yeka dalam diskusi kelompok terarah di Pekanbaru, Riau, Rabu (7/8).
Ia menjelaskan dalam aspek lahan, diharapkan dibahas permasalahan utama perkebunan kelapa sawit, baik yang diusahakan oleh pekebun rakyat maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Diketahui bahwa saat ini belum semua kebun sawit memiliki hak atas tanah yang dikuatkan dengan dokumen administratif, sedangkan untuk kebun sawit yang telah memiliki hak atas tanah masih banyak yang tumpang tindih secara administratif dengan kawasan hutan.
Dalam aspek perizinan, kata dia, terungkap perkebunan sawit yang dikelola oleh perusahaan atau luas lebih dari atau sama dengan 25 hektare harus memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP).
Sementara perkebunan sawit yang dikelola oleh pekebun rakyat atau kurang dari atau sama dengan 25 hektare harus memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB).
Yenka melanjutkan, terkait aspek permasalahan tata niaga, pada aspek harga Tandan Buah Segar (TBS) terdapat ketidakseragaman atau variasi harga TBS di masing-masing wilayah.
Selain itu kebijakan biodiesel saat ini telah ditentukan kebijakan B35, yang artinya 35 persen biodiesel berasal dari minyak sawit (Fatty Acyd Methil Ester/FAME).
Dia menuturkan keluhan saat ini, yakni selisih pembayaran antara harga FAME dengan Solar diberikan kepada produsen FAME, namun proses pembayaran tersebut menyisakan permasalahan hukum karena adanya selisih perhitungan yang dianggap berpotensi merugikan keuangan negara.
“Ketidakpastian ini menjadikan kegelisahan bagi para produsen bahan baku biodiesel,” ucap dia.
Dirinya pun mengungkapkan tujuan Ombudsman dalam aspek lahan, yaitu mendorong kepastian inventarisasi penyelesaian tumpang tindih lahan perkebunan sawit dan kawasan hutan.
Kemudian untuk aspek izin, Ombudsman mendorong kepastian layanan dan penerbitan Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B) sebagai salah satu pemenuhan sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO).
Lebih lanjut dalam aspek niaga, Ombudsman juga mendorong perbaikan pengaturan harga TBS dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) serta perbaikan kebijakan biodiesel dan Palm Oil Mill Effluent (POME) atau limbah cair kelapa sawit.
Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Sunari. Ia berterima kasih kepada Ombudsman RI yang telah melakukan kajian sistemik tentang perkelapasawitan.
“Dengan adanya kajian sistemik oleh Ombudsman RI dalam rangka pencegahan malaadministrasi dengan melibatkan para stakeholders terkait, diharapkan dapat mendorong saran perbaikan pada tata kelola industri kelapa sawit dari hulu ke hilir,” ujar Sunari.
Adapun diskusi kelompok terarah dengan tema Tantangan dan Upaya Perbaikan pada Tata Kelola Industri Kelapa Sawit tersebut diselenggarakan oleh BPDPKS. (*)
Sumber: Antara, Oleh: Agatha Olivia Victoria