spot_img
spot_img

Wanita Poni dan Bara Kretek

spot_img

Kretek itu terbakar pada sisi kecil ujungnya. Bara merah terlihat, walau masih malu-malu. Sedikit asap juga mengepul. Sedikit dan tipis saja. Kali ini yang tebal adalah angannya, membumbung tinggi. Hitam dan pekat. Bayangan tentang kepahitan menusuk hati dan menyayat ingatan lelaki itu.

Lekat dalam ingatan saat dia menyusuri hari-hari gelap. Hari-hari yang dikepung mendung seperti dalam dongeng-dongeng peri Eropa dari abad pertengahan.

Ada ragu di sana antara batas kondisi dan pengharapan. Wajah muram dan arti senyum yang harus diperjuangkan.

bambang-budiono

Batas tenaganya hampir sampai puncak.

“Jalan masih jauh.” Berkali seru itu masuk menusuk pikirannya.

Lelaki itu gontai. Menyeret telapak kaki penuh luka antara harapan dan putus asa.

Jalannya kini sangat tidak mudah. Ada batas senja yang mustahil dia lewati. Batas senja yang terletak antara keindahan dan kesakralan.

Berbisik dia pada pasir. Mengadukan perasaan yang porak poranda. Sesekali menengadah menantang matahari.

Tetap saja. Batas senja adalah perisai disantium, serupa benteng kota tua Yerusalem, butuh orang setengah gila untuk meruntuhkannya.

Ujung kretek sekarang terbakar hampir separo. Bara merahnya terlihat lebih jelas, meski masih malu.

Asap masih tipis memanjat ke udara. Pasir di sekitar telapak kaki masih panas seperti tadi. Sebentar lagi matahari akan tepat di atas kepala. Itu artinya, jangankan arah, bayangan sendiri pun akan sulit terlihat.

Lelaki itu masih menyeret kaki penuh lukanya. Berjibaku antara batas senja dan sengat matahari. Menumpuk penuh niat. Setapak demi setapak. Mengukir bekas langkah pada padang gersang berpasir panas.

Peluhnya sekarang menjelma bahan bakar. Melumat habis semua keraguan dalam dirinya. Tekadnya seperti karang, buas menantang badai dan keraguan.

Semakin dekat sekarang dirinya dengan batas senja. Ada senyum kecil mengembang di sana. Senyum yang berumah di sela mega dan lembayung, senyum yang mengembang sekali dalam seribu malam.

Senyum yang mendiami batas cakrawala. Diam jauh dalam dirinya, juga mengembara tinggi di angkasa.

Ujung kretek sekarang terbakar setengah. Warna bara semakin merah. Kepul asap tak setipis tadi. Langkahnya pun semakin pasti. Menuruni ingatan-ingatan terlama.

Meyakini harapan-harapan paling mustahil. Ada sedikit gumam nyanyian di bibirnya.

“La… Laaaaa… Hem… Hem… Hem…” Matanya semburat terang sekarang. Ada  bayangan pelangi antara kornea matanya.

Bayangan penghapus cemas dan putus asa. Beberapa langkah lagi padang gersang itu akan terlewati. Langkahnya semakin berat. Terlihat gontai sekarang.

Dalam kondisi seperti ini, dia berharap awan memucat. Bahkan gelap sekalian. Kerongkongannya kering. Berharap ada air.

Beberapa langkah jatuh. Berdiri dan jatuh lagi. Bias pelangi makin kuat menerpa kornea matanya. Jarak seperti tinggal beberapa jengkal saja. Ada pula bisik kuat.

“Setiap usaha ada batasnya, setiap pengharapan ada waktu berputus asa.” Tapi dasar lelaki ngeyel, sama sekali dia tak hirau pada semua itu.

Langkah jatuh bangunnya terus bergerak maju. Pasir panas seperti menguliti kakinya. Pedih, panas, dan tentunya luka. Peluh yang menetes seperti kristal.

Kemilau dalam payung matahari. Jangan tanya napasnya. Seribu kuda pacu pun sepertinya buka perbandingan yang seimbang.

Kretek terbakar lebih dari separo. Semakin merah baranya. Asap semakin tebal. Putih dan masih memanjati udara. Ada senyum sedikit mengembang saat bias pelangi menyapu pandangnya. Hanya itu saja yang dia punya. Bias dan berkas.

Tenaganya hampir terbang sepenuhnya disengat matahari. Kira-kira jaraknya tersisa lima puluh kilometer lagi. Jarak ideal untuk memandang keindahan.

Kretek terbakar sempurna. Warna bara serupa kunang sekarang. Asap mengepul. Mengepung udara.

Langkahnya tidak lagi lunglai berlari dia sekarang. Menerjang batas yang serupa benteng kokoh kota kuno Yerusalem. Lelaki itu sekarang telah sempurna setengah gila.

Digenggam erat ujung pelangi. Menariknya sekuat tenaga. Sial… Tanah tempatnya berdiri tak cukup kuat menahan beban tubuhnya yang menarik pelangi. Tanah amblas.

Pemuda itu terjerembab masuk dalam lubang dalam. Sampai dasar lubang dia terperanjat. Menemukan dirinya basah kuyup.

Iya dia tidak salah. Tubuhnya basah kuyup sekarang. Segenang air setinggi pinggang tempat dia berdiri sekarang. Kerongkongan keringnya tak sabar.

Semacam gerak reflek. Mengokop air masuk dalam genangan. Sepuas yang dia bisa meneguk air genangan itu. Asin dan tak asing. Pemuda itu menyadari setelah kenyang.

Rasa air yang dia minum. Itu adalah rasa yang akrab dengannya. Rasa yang selalu menemani sebelum perjalanan memburu pelangi dimulai. Rasa yang setiap saat dia temukan dalam kesendiriannya. Rasa air mata.

Tujuan dari setiap perjalanan adalah kembali ke titik awal. Bila manusia punya kuasa memilih musim.

Aku ingin berteduh di bawah pagi mendung

Hanya di sana. Semua murung terlindung

Desember 2023

Kretek itu terbakar pada sisi kecil ujungnya. Bara merah terlihat, walau masih malu-malu. Sedikit asap juga mengepul. Sedikit dan tipis saja. Kali ini yang tebal adalah angannya, membumbung tinggi. Hitam dan pekat. Bayangan tentang kepahitan menusuk hati dan menyayat ingatan lelaki itu.

Lekat dalam ingatan saat dia menyusuri hari-hari gelap. Hari-hari yang dikepung mendung seperti dalam dongeng-dongeng peri Eropa dari abad pertengahan.

Ada ragu di sana antara batas kondisi dan pengharapan. Wajah muram dan arti senyum yang harus diperjuangkan.

bambang-budiono

Batas tenaganya hampir sampai puncak.

- Advertisement -

“Jalan masih jauh.” Berkali seru itu masuk menusuk pikirannya.

Lelaki itu gontai. Menyeret telapak kaki penuh luka antara harapan dan putus asa.

Jalannya kini sangat tidak mudah. Ada batas senja yang mustahil dia lewati. Batas senja yang terletak antara keindahan dan kesakralan.

Berbisik dia pada pasir. Mengadukan perasaan yang porak poranda. Sesekali menengadah menantang matahari.

Tetap saja. Batas senja adalah perisai disantium, serupa benteng kota tua Yerusalem, butuh orang setengah gila untuk meruntuhkannya.

Ujung kretek sekarang terbakar hampir separo. Bara merahnya terlihat lebih jelas, meski masih malu.

Asap masih tipis memanjat ke udara. Pasir di sekitar telapak kaki masih panas seperti tadi. Sebentar lagi matahari akan tepat di atas kepala. Itu artinya, jangankan arah, bayangan sendiri pun akan sulit terlihat.

Lelaki itu masih menyeret kaki penuh lukanya. Berjibaku antara batas senja dan sengat matahari. Menumpuk penuh niat. Setapak demi setapak. Mengukir bekas langkah pada padang gersang berpasir panas.

Peluhnya sekarang menjelma bahan bakar. Melumat habis semua keraguan dalam dirinya. Tekadnya seperti karang, buas menantang badai dan keraguan.

Semakin dekat sekarang dirinya dengan batas senja. Ada senyum kecil mengembang di sana. Senyum yang berumah di sela mega dan lembayung, senyum yang mengembang sekali dalam seribu malam.

Senyum yang mendiami batas cakrawala. Diam jauh dalam dirinya, juga mengembara tinggi di angkasa.

Ujung kretek sekarang terbakar setengah. Warna bara semakin merah. Kepul asap tak setipis tadi. Langkahnya pun semakin pasti. Menuruni ingatan-ingatan terlama.

Meyakini harapan-harapan paling mustahil. Ada sedikit gumam nyanyian di bibirnya.

“La… Laaaaa… Hem… Hem… Hem…” Matanya semburat terang sekarang. Ada  bayangan pelangi antara kornea matanya.

Bayangan penghapus cemas dan putus asa. Beberapa langkah lagi padang gersang itu akan terlewati. Langkahnya semakin berat. Terlihat gontai sekarang.

Dalam kondisi seperti ini, dia berharap awan memucat. Bahkan gelap sekalian. Kerongkongannya kering. Berharap ada air.

Beberapa langkah jatuh. Berdiri dan jatuh lagi. Bias pelangi makin kuat menerpa kornea matanya. Jarak seperti tinggal beberapa jengkal saja. Ada pula bisik kuat.

“Setiap usaha ada batasnya, setiap pengharapan ada waktu berputus asa.” Tapi dasar lelaki ngeyel, sama sekali dia tak hirau pada semua itu.

Langkah jatuh bangunnya terus bergerak maju. Pasir panas seperti menguliti kakinya. Pedih, panas, dan tentunya luka. Peluh yang menetes seperti kristal.

Kemilau dalam payung matahari. Jangan tanya napasnya. Seribu kuda pacu pun sepertinya buka perbandingan yang seimbang.

Kretek terbakar lebih dari separo. Semakin merah baranya. Asap semakin tebal. Putih dan masih memanjati udara. Ada senyum sedikit mengembang saat bias pelangi menyapu pandangnya. Hanya itu saja yang dia punya. Bias dan berkas.

Tenaganya hampir terbang sepenuhnya disengat matahari. Kira-kira jaraknya tersisa lima puluh kilometer lagi. Jarak ideal untuk memandang keindahan.

Kretek terbakar sempurna. Warna bara serupa kunang sekarang. Asap mengepul. Mengepung udara.

Langkahnya tidak lagi lunglai berlari dia sekarang. Menerjang batas yang serupa benteng kokoh kota kuno Yerusalem. Lelaki itu sekarang telah sempurna setengah gila.

Digenggam erat ujung pelangi. Menariknya sekuat tenaga. Sial… Tanah tempatnya berdiri tak cukup kuat menahan beban tubuhnya yang menarik pelangi. Tanah amblas.

Pemuda itu terjerembab masuk dalam lubang dalam. Sampai dasar lubang dia terperanjat. Menemukan dirinya basah kuyup.

Iya dia tidak salah. Tubuhnya basah kuyup sekarang. Segenang air setinggi pinggang tempat dia berdiri sekarang. Kerongkongan keringnya tak sabar.

Semacam gerak reflek. Mengokop air masuk dalam genangan. Sepuas yang dia bisa meneguk air genangan itu. Asin dan tak asing. Pemuda itu menyadari setelah kenyang.

Rasa air yang dia minum. Itu adalah rasa yang akrab dengannya. Rasa yang selalu menemani sebelum perjalanan memburu pelangi dimulai. Rasa yang setiap saat dia temukan dalam kesendiriannya. Rasa air mata.

Tujuan dari setiap perjalanan adalah kembali ke titik awal. Bila manusia punya kuasa memilih musim.

Aku ingin berteduh di bawah pagi mendung

Hanya di sana. Semua murung terlindung

Desember 2023

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

Afiks

Mimpi yang Tak Pernah Tidur

Sekumpulan Capung di Atas Pohon Kurma

Raverie Renjana

Seekor Tikus Terkapar di Jalan

spot_img