spot_img
spot_img

Nggujeng

spot_img

“Andai saja kamu tidak memaksa ikut, Mah,” gerutuku yang muncul akibat rasa gelisah yang sedari tadi kutahan. Sembari menatapi istriku yang tengah tertidur di jok mobil sebelahku. Tampak wajahnya terlihat lelah. Wajar saja, perjalanan kali ini sudah berlalu hampir setengah hari.

Sebenarnya aku tidak tega untuk membawanya turut serta dalam perjalanan kali ini.

Alasannya tak lain karena kondisinya yang masih lemas.

Pasca seminggu lalu dokter memintanya untuk istirahat total. Memulihkan kondisi tubuhnya yang dikatakan menurun.

Bulan ini, sesuatu yang buruk datang merusak kebahagian rumah tangga kami. Bermula saat istriku tiba-tiba saja terjatuh di kamar mandi.

Kala itu dia tengah mengandung anak pertama kami. Pasca kejadian itu, pihak dokter rumah sakit menyarankan istriku untuk melakukan curret demi menyelamatkan nyawanya, di usia kandungannya yang belum genap lima bulan.

Dalam keadaan memacu mobil sedan hijau milikku. Aku tetap saja terbayang betapa tidak berdayanya diriku saat itu.

Sebelumnya aku sangat tidak setuju dengan prosedur curret dan tetap berharap bayi yang dikandung Mona, istriku baik-baik saja.

Hingga dokter menyebutkan bahwa bayi dalam kandungan istriku tak lagi selamat, dan harus dikeluarkan dengan segera.

Kesedihan ini yang sempat menyelimuti kami berdua, namun lebih menusuk bagi Mona yang sejak awal kehamilannya sangat antusias menyambut anak pertama kami.

“Pah, ngelamun?” tanya istriku yang terlihat baru saja terbangun dan membuyarkan lamunanku.

“Aku masih kepikiran, Fari,” jawabku singkat.

Gifari Pangestu. Begitu nama yang dipersiapkan Mona untuk calon buah hati kami yang pertama.

Bila ia terlahir nanti. Kami selalu berharap kelak di kemudian hari, ia akan menjadi anak yang pemaaf dan membawa berkah untuk keluarga kami.

Namun, takdir berkata lain. Di sepanjang jalan, Mona menceritakan hal-hal aneh yang dialaminya sebelum ia terjatuh dan berimbas pada kegugurannya.

Mona bercerita, pada jauh hari sebelumnya ia sering bermimpi. Dalam mimpinya itu ia kerap kali didatangi sosok perempuan yang sama.

Perempuan dengan mata yang tampak merah menyala, meskipun tertutup oleh sebagian rambut depannya. Wajahnya hancur, bibirnya pun robek dari ujung telinga kiri hingga telinga kanan. Dan taring yang mencuat menembus kedua bidang pipinya.

“Di mimpiku, dhemit itu terus memintaku memberikan Fari. Jelas aku menolak!” tegasnya.

Namun dia tak dapat berbuat banyak, kecuali harus merelakan perutnya yang membukit dicengkeram dengan jari-jari dengan kuku yang tajam dari sosok perempuan itu.

“Dia mencengkeram perutku, yang kuingat adalah sakit saat perutku terburai,” Mona masih melanjutkan ceritanya.

“Fari, dicabut dengan paksa dari rahimku. Aku masih ingat rasa sakitnya meskipun hanya sekadar mimpi.”

Mendengar cerita itu, tadinya aku ingin mengajaknya berputar balik dan batal pergi. Tetapi Mona menolaknya.

Hingga akhirnya perjalanan ini terus berlanjut.

Touring yang sudah jarang kulakukan untuk sebuah melepas penat.

Tadinya aku sempat khawatir jikalau ia tetap ikut dalam perjalananku kali ini. Takut apabila kondisinya akan kembali memburuk.

Namun ia tetap bersikukuh. Memaksa ingin ikut dengan dalih kondisinya sudah membaik, dan ingin menikmati perjalanan bersamaku untuk membuang rasa sedihnya pasca kehilangan bayinya.

“Orang bilang, tertawa itu menularkan, Pah. Kamu seneng, aku juga ikut seneng,” kata Mona membela diri.

Sepanjang perjalanan ini, aku tahu ia berbohong ketika ia mengatakan kondisinya sudah membaik.

Karena Mona selalu meminta untuk berhenti sejenak di tepian jalan. Dia tak pernah jujur ketika memintaku untuk berhenti.

Sesekali dia menelepon ponselku untuk memberitahukan kalau ia ingin berhenti dan membuang rasa mualnya.

Baru lima belas menit aku melajukan mobil setelah terakhir berhenti. Ponselku kembali berbunyi. Aku melirik sekilas siapa yang menelponku, dan jelas sekali tertulis: Mommy.

Mona memang seringkali iseng. Dan keisengannya terkadang memang ampuh untuk membuatku tersenyum kembali sekalipun dalam keadaan marah.

Namun kali ini aku mengerutkan dahi. Ini tidak lucu. Saat-saat seperti ini harusnya istriku tidak berbuat iseng.

Di saat fokusku harusnya tertuju pada jalan yang gelap di depanku.

Kucoba mengabaikannya. Pikirku, Mona sedang bosan. Karena sedari tadi aku tidak mencoba mengajaknya berbicara lantaran kukira ia sedang tertidur kelelahan.

Sekali lagi ponselku berbunyi. Ganjilnya, aku baru menyadari bahwa nada dering ponselku telah diubah, menjadi suara yang membuatku sedikit bergidik karena ngeri: suara desau angin dan geraman yang lirih.

“Keterlaluan sih kalo kamu sampe ngubah nada dering ponselku begini, Mah,” gerutuku.

Ponsel yang kuletakkan di dashboard mobil terus saja berdering. Hingga nada deringnya samar tak terdengar. Kecuali getaran halus yang membuat ponselku bergerak perlahan.

Hampir tiga puluh menit ponselku terus bergetar. Masih kuabaikan meskipun sekarang ada dalam saku baju poloku.

“Kamu kenapa sih, Mah? Iseng banget,” gerutuku seraya mencoba menengok sedikit ke arah jok belakang mobil yang kebetulan dipilih oleh Mona daripada harus duduk di sebelahku— di bangku depan.

Mona memutuskan pindah tempat duduk, karena di belakang ia bisa tertidur dengan ruang yang lebih luas dengan posisi kakinya yang lurus.

Ponselku masih bergetar. Setiap panggilan-panggi lan telepon kembali kuabaikan.

Di saat yang sama, kabin belakang mobil mulai tampak gelap. Hanya sedikit pencahayaan.

Tetapi masih bisa kulihat sosok istriku yang duduk di belakang dengan posisi menunduk.

Rambutnya yang panjang terurai ke depan menutup sebagian besar wajahnya dengan sedikit tampak cahaya dari bawahnya.

Sepertinya ia masih mempermainkan ponselnya untuk terus meneleponku.

“Lagi bosen banget atau bagaimana? Kok diem saja,” tanyaku dengan sedikit melirik dari kaca spion tengah.

Kali ini, posisi duduknya tampak sedikit garib menurutku. Seperti sedang memeluk lutut dengan kepala yang menekan ujung lutut.

Tak ada satu pun ucapan dan pertanyaanku ditanggapi oleh Mona. Tak ada suara timpalan. Kecuali dengus napas yang terdengar sayup dan berat dari arah belakang.

Hanya hening. Di luar pun sama heningnya karena gelap terus saja merayap. Meskipun sesekali terdapat suara-suara yang ganjal untuk didengar. Yang ku harap hanya salah dengar saja.

Sebenarnya dalam perjalanan kali ini, aku melaju bersama teman-teman sehobiku yang lain.

Namun saat ini mobilku tercecer jauh di belakang dan tertinggal dari rombongan depan.

Semua karena Mona yang sering kali meminta untuk berhenti.

Di kegelapan ini, hanya lampu kota dari sedan hijau ini satu-satunya cahaya yang tampak. Di antara pepohonan jati yang tegak. Terdengar suara-suara yang lirih. Hampir seperti suara tangisan bayi.

Namun dari arah yang jauh. Entah kenapa tangisan itu terus saja berpindah sumber suaranya. Kadang terdengar dari sisi belakang, samping dan arah depan—hanya sekitar arah mobilku melaju.

Tak ingin perhatianku teralihkan, terus kuperhatikan jalanan dengan sesekali membunyikan klakson. Karena kata orang Jawa, saat melintasi jalanan yang sepi dan singit haruslah membunyikan bebunyian—sebagai penanda ucapan “permisi”.

Terlebih jalanan yang kulewati ini menuju ke arah hutan jati. Yang mana banyak dari rekan komunitasku seringkali menceritakan tempat ini dengan kejadian mistisnya.

Mengingat itu, bulu kudukku seketika berdiri.

Untuk alasan itu, ku coba mengalihkan pikiran buruk dengan sedikit berdeham, dan kemudian sedikit bernyanyi kecil dengan maksud meramaikan keadaan.

Lagu-lagu yang kunyanyikan pun adalah lagu wajib kala berpacaran dengan istriku, dengan harapan ia akan menimpalinya seraya ikut bernyanyi.

“Mah, kamu masih ingat lagu ini, kan, ya?” tanyaku tanpa perlu menengok ke belakang. Dan lagi, sepi, tak ada jawaban.

“Dijawab dong kalau orang lagi nanya,” timpalku dengan bersungut-sungut, sedikit geram.

“Iya…,” ia menjawab, bersamaan hembusan angin dingin yang tiba-tiba mendarat di sekitar tengkukku. Kutengok sedikit ke arah belakang.

Istriku masih tetap pada posisinya semula, menunduk, rambutnya berjuntai mirip rambut, “… ah, Kuntilanak?” aku bergidik ngeri.

Rasa takut tiba-tiba menjalar. Benakku mulai kacau. Dipenuhi halusinasi yang absurd.

Dengan sedikit mendengus. Aku melanjutkan nyanyian kecilku.

Tanpa ingin berdebat jika saja sosok di belakang itu bukanlah Kuntilanak seperti yang kutakutkan.

Di tengah nyanyianku. Tiba-tiba suara perempuan di belakang ikut bernyanyi. Warna suaranya
terdengar seperti suara Mona—istriku.

Suaranya memantul, juga timbul tenggelam seolah dipermainkan angin.

Aku mengerutkan dahi. Karena suaranya tak lagi terdengar seperti sedang bernyanyi. Lebih seperti rintihan dengan suara parau, yang anehnya mengikuti irama lagu yang sedang kunyanyikan.

Ingin kupastikan bahwa suara itu benar berasal dari istriku.

Kulihat tubuh di belakangku pundaknya bergerak naik-turun meski masih dalam keadaan merunduk.

Lega. Artinya suara itu benar dari istriku. Tetap kulanjutkan nyanyianku.  Dengan ditimpali suara perempuan di belakangku yang terus mengikuti.

Nyanyian yang sahut-menyahut itu terkadang melemah dan sesekali terdengar melengking menusuk dada.

Semakin lama. Kurasakan kejanggalan dari suaranya yang berantakan dan terdengar serak itu. Terkadang seperti rintihan, desahan kecil, bahkan setelahnya mirip lolongan.

Ada saatnya di mana suaranya terdengar bak dengusan babi atau orang yang ngorok. Bulu kudukku kali ini benar-benar meremang.

Kurasakan suara di belakangku kian menyayat hati. Suaranya seakan berasal dari arah tenggorokan bagian dalam, dan bukan lagi suara seseorang yang sedang bernyanyi.

Kuberanikan diri menoleh ke arah belakang, kali ini terasa aneh. Leherku terasa sulit untuk digerakkan.  Tak bisa kupastikan bahwa memang istriku yang ada di jok belakang.

Nyanyiannya atau sekali ini terdengar jelas seperti lolongan, melengking, menjerit, dan …

Ponselku kembali berdering. Masih dengan nama yang sama: Mommy.

Kali ini aku berusaha untuk menerimanya, meski lenganku tiba-tiba terasa kaku untuk digerakkan. Sekuat tenaga kucoba menerima panggilan itu hingga tombol terima berhasil kusentuh.

“Halo, Pah, kamu ke mana saja sih? Disuruh tunggu sebentar malah pergi. Cepetan balik! Sudah malam lagi, pemilik warungnya juga mau pulang, nih!” cerocos suara di seberang telepon yang kukenali sebagai suara istriku.

Deg! Badanku tiba-tiba lemas. Sebuah momen yang terasa janggal. Jika yang di seberang panggilan ini adalah istriku. Lantas, yang di belakang itu siapa?

Di tengah pertanyaan yang masih melintas di kepalaku itu. Sekejap tercium bau amis seperti besi berkarat—atau darah. Yang bercampur aroma busuk.

Lamat-lamat kudengar kembali suara tangisan bayi itu, beradu dengan tangisan seorang perempuan yang menyayat hati dari arah belakang. Dan bagian atas kap mobil sedanku.

“Me-me-mang … nya, kamu di … mana, Mah?” tanyaku terbata-bata.

Pada saat yang sama suara meregah di belakang telah berhenti. Begitupun tangisan perempuan dan bayi, meskipun masih saja aku tak berani menengoknya.

“Bukannya tadi berhenti di warung untuk numpang kencing? Pas udah beres, mobil Papah malah hilang. Ditelpon pun gak diangkat,” cetus Mona.

Perasaanku semakin tak karuan. Belum sempat kututup teleponku. Tetiba saja muncul sesosok perempuan yang kini berada tepat depan mobil. Memaksaku untuk berhenti.

Perempuan dengan wajah yang hancur. Pun bibirnya yang robek dari ujung telinga kiri hingga telinga kanan. Serta sepasang taring yang mencuat menembus bidang pipinya.

Samar terlihat tampak menggendong sosok seperti bayi, dalam pelukan dengan kuku jarinya yang tajam. Sama persis dengan yang diceritakan Mona.

Sosok itu tampak kabur dari pandangan. Menghilang dengan suara tawanya yang melengking dan tajam menusuk hati.

“Ha ha ha ha ha…” dalam rasa takut itu aku ikut tertawa tanpa henti. Benar apa kata Mona, tertawa itu bisa sangat menular. (*)

“Andai saja kamu tidak memaksa ikut, Mah,” gerutuku yang muncul akibat rasa gelisah yang sedari tadi kutahan. Sembari menatapi istriku yang tengah tertidur di jok mobil sebelahku. Tampak wajahnya terlihat lelah. Wajar saja, perjalanan kali ini sudah berlalu hampir setengah hari.

Sebenarnya aku tidak tega untuk membawanya turut serta dalam perjalanan kali ini.

Alasannya tak lain karena kondisinya yang masih lemas.

Pasca seminggu lalu dokter memintanya untuk istirahat total. Memulihkan kondisi tubuhnya yang dikatakan menurun.

Bulan ini, sesuatu yang buruk datang merusak kebahagian rumah tangga kami. Bermula saat istriku tiba-tiba saja terjatuh di kamar mandi.

- Advertisement -

Kala itu dia tengah mengandung anak pertama kami. Pasca kejadian itu, pihak dokter rumah sakit menyarankan istriku untuk melakukan curret demi menyelamatkan nyawanya, di usia kandungannya yang belum genap lima bulan.

Dalam keadaan memacu mobil sedan hijau milikku. Aku tetap saja terbayang betapa tidak berdayanya diriku saat itu.

Sebelumnya aku sangat tidak setuju dengan prosedur curret dan tetap berharap bayi yang dikandung Mona, istriku baik-baik saja.

Hingga dokter menyebutkan bahwa bayi dalam kandungan istriku tak lagi selamat, dan harus dikeluarkan dengan segera.

Kesedihan ini yang sempat menyelimuti kami berdua, namun lebih menusuk bagi Mona yang sejak awal kehamilannya sangat antusias menyambut anak pertama kami.

“Pah, ngelamun?” tanya istriku yang terlihat baru saja terbangun dan membuyarkan lamunanku.

“Aku masih kepikiran, Fari,” jawabku singkat.

Gifari Pangestu. Begitu nama yang dipersiapkan Mona untuk calon buah hati kami yang pertama.

Bila ia terlahir nanti. Kami selalu berharap kelak di kemudian hari, ia akan menjadi anak yang pemaaf dan membawa berkah untuk keluarga kami.

Namun, takdir berkata lain. Di sepanjang jalan, Mona menceritakan hal-hal aneh yang dialaminya sebelum ia terjatuh dan berimbas pada kegugurannya.

Mona bercerita, pada jauh hari sebelumnya ia sering bermimpi. Dalam mimpinya itu ia kerap kali didatangi sosok perempuan yang sama.

Perempuan dengan mata yang tampak merah menyala, meskipun tertutup oleh sebagian rambut depannya. Wajahnya hancur, bibirnya pun robek dari ujung telinga kiri hingga telinga kanan. Dan taring yang mencuat menembus kedua bidang pipinya.

“Di mimpiku, dhemit itu terus memintaku memberikan Fari. Jelas aku menolak!” tegasnya.

Namun dia tak dapat berbuat banyak, kecuali harus merelakan perutnya yang membukit dicengkeram dengan jari-jari dengan kuku yang tajam dari sosok perempuan itu.

“Dia mencengkeram perutku, yang kuingat adalah sakit saat perutku terburai,” Mona masih melanjutkan ceritanya.

“Fari, dicabut dengan paksa dari rahimku. Aku masih ingat rasa sakitnya meskipun hanya sekadar mimpi.”

Mendengar cerita itu, tadinya aku ingin mengajaknya berputar balik dan batal pergi. Tetapi Mona menolaknya.

Hingga akhirnya perjalanan ini terus berlanjut.

Touring yang sudah jarang kulakukan untuk sebuah melepas penat.

Tadinya aku sempat khawatir jikalau ia tetap ikut dalam perjalananku kali ini. Takut apabila kondisinya akan kembali memburuk.

Namun ia tetap bersikukuh. Memaksa ingin ikut dengan dalih kondisinya sudah membaik, dan ingin menikmati perjalanan bersamaku untuk membuang rasa sedihnya pasca kehilangan bayinya.

“Orang bilang, tertawa itu menularkan, Pah. Kamu seneng, aku juga ikut seneng,” kata Mona membela diri.

Sepanjang perjalanan ini, aku tahu ia berbohong ketika ia mengatakan kondisinya sudah membaik.

Karena Mona selalu meminta untuk berhenti sejenak di tepian jalan. Dia tak pernah jujur ketika memintaku untuk berhenti.

Sesekali dia menelepon ponselku untuk memberitahukan kalau ia ingin berhenti dan membuang rasa mualnya.

Baru lima belas menit aku melajukan mobil setelah terakhir berhenti. Ponselku kembali berbunyi. Aku melirik sekilas siapa yang menelponku, dan jelas sekali tertulis: Mommy.

Mona memang seringkali iseng. Dan keisengannya terkadang memang ampuh untuk membuatku tersenyum kembali sekalipun dalam keadaan marah.

Namun kali ini aku mengerutkan dahi. Ini tidak lucu. Saat-saat seperti ini harusnya istriku tidak berbuat iseng.

Di saat fokusku harusnya tertuju pada jalan yang gelap di depanku.

Kucoba mengabaikannya. Pikirku, Mona sedang bosan. Karena sedari tadi aku tidak mencoba mengajaknya berbicara lantaran kukira ia sedang tertidur kelelahan.

Sekali lagi ponselku berbunyi. Ganjilnya, aku baru menyadari bahwa nada dering ponselku telah diubah, menjadi suara yang membuatku sedikit bergidik karena ngeri: suara desau angin dan geraman yang lirih.

“Keterlaluan sih kalo kamu sampe ngubah nada dering ponselku begini, Mah,” gerutuku.

Ponsel yang kuletakkan di dashboard mobil terus saja berdering. Hingga nada deringnya samar tak terdengar. Kecuali getaran halus yang membuat ponselku bergerak perlahan.

Hampir tiga puluh menit ponselku terus bergetar. Masih kuabaikan meskipun sekarang ada dalam saku baju poloku.

“Kamu kenapa sih, Mah? Iseng banget,” gerutuku seraya mencoba menengok sedikit ke arah jok belakang mobil yang kebetulan dipilih oleh Mona daripada harus duduk di sebelahku— di bangku depan.

Mona memutuskan pindah tempat duduk, karena di belakang ia bisa tertidur dengan ruang yang lebih luas dengan posisi kakinya yang lurus.

Ponselku masih bergetar. Setiap panggilan-panggi lan telepon kembali kuabaikan.

Di saat yang sama, kabin belakang mobil mulai tampak gelap. Hanya sedikit pencahayaan.

Tetapi masih bisa kulihat sosok istriku yang duduk di belakang dengan posisi menunduk.

Rambutnya yang panjang terurai ke depan menutup sebagian besar wajahnya dengan sedikit tampak cahaya dari bawahnya.

Sepertinya ia masih mempermainkan ponselnya untuk terus meneleponku.

“Lagi bosen banget atau bagaimana? Kok diem saja,” tanyaku dengan sedikit melirik dari kaca spion tengah.

Kali ini, posisi duduknya tampak sedikit garib menurutku. Seperti sedang memeluk lutut dengan kepala yang menekan ujung lutut.

Tak ada satu pun ucapan dan pertanyaanku ditanggapi oleh Mona. Tak ada suara timpalan. Kecuali dengus napas yang terdengar sayup dan berat dari arah belakang.

Hanya hening. Di luar pun sama heningnya karena gelap terus saja merayap. Meskipun sesekali terdapat suara-suara yang ganjal untuk didengar. Yang ku harap hanya salah dengar saja.

Sebenarnya dalam perjalanan kali ini, aku melaju bersama teman-teman sehobiku yang lain.

Namun saat ini mobilku tercecer jauh di belakang dan tertinggal dari rombongan depan.

Semua karena Mona yang sering kali meminta untuk berhenti.

Di kegelapan ini, hanya lampu kota dari sedan hijau ini satu-satunya cahaya yang tampak. Di antara pepohonan jati yang tegak. Terdengar suara-suara yang lirih. Hampir seperti suara tangisan bayi.

Namun dari arah yang jauh. Entah kenapa tangisan itu terus saja berpindah sumber suaranya. Kadang terdengar dari sisi belakang, samping dan arah depan—hanya sekitar arah mobilku melaju.

Tak ingin perhatianku teralihkan, terus kuperhatikan jalanan dengan sesekali membunyikan klakson. Karena kata orang Jawa, saat melintasi jalanan yang sepi dan singit haruslah membunyikan bebunyian—sebagai penanda ucapan “permisi”.

Terlebih jalanan yang kulewati ini menuju ke arah hutan jati. Yang mana banyak dari rekan komunitasku seringkali menceritakan tempat ini dengan kejadian mistisnya.

Mengingat itu, bulu kudukku seketika berdiri.

Untuk alasan itu, ku coba mengalihkan pikiran buruk dengan sedikit berdeham, dan kemudian sedikit bernyanyi kecil dengan maksud meramaikan keadaan.

Lagu-lagu yang kunyanyikan pun adalah lagu wajib kala berpacaran dengan istriku, dengan harapan ia akan menimpalinya seraya ikut bernyanyi.

“Mah, kamu masih ingat lagu ini, kan, ya?” tanyaku tanpa perlu menengok ke belakang. Dan lagi, sepi, tak ada jawaban.

“Dijawab dong kalau orang lagi nanya,” timpalku dengan bersungut-sungut, sedikit geram.

“Iya…,” ia menjawab, bersamaan hembusan angin dingin yang tiba-tiba mendarat di sekitar tengkukku. Kutengok sedikit ke arah belakang.

Istriku masih tetap pada posisinya semula, menunduk, rambutnya berjuntai mirip rambut, “… ah, Kuntilanak?” aku bergidik ngeri.

Rasa takut tiba-tiba menjalar. Benakku mulai kacau. Dipenuhi halusinasi yang absurd.

Dengan sedikit mendengus. Aku melanjutkan nyanyian kecilku.

Tanpa ingin berdebat jika saja sosok di belakang itu bukanlah Kuntilanak seperti yang kutakutkan.

Di tengah nyanyianku. Tiba-tiba suara perempuan di belakang ikut bernyanyi. Warna suaranya
terdengar seperti suara Mona—istriku.

Suaranya memantul, juga timbul tenggelam seolah dipermainkan angin.

Aku mengerutkan dahi. Karena suaranya tak lagi terdengar seperti sedang bernyanyi. Lebih seperti rintihan dengan suara parau, yang anehnya mengikuti irama lagu yang sedang kunyanyikan.

Ingin kupastikan bahwa suara itu benar berasal dari istriku.

Kulihat tubuh di belakangku pundaknya bergerak naik-turun meski masih dalam keadaan merunduk.

Lega. Artinya suara itu benar dari istriku. Tetap kulanjutkan nyanyianku.  Dengan ditimpali suara perempuan di belakangku yang terus mengikuti.

Nyanyian yang sahut-menyahut itu terkadang melemah dan sesekali terdengar melengking menusuk dada.

Semakin lama. Kurasakan kejanggalan dari suaranya yang berantakan dan terdengar serak itu. Terkadang seperti rintihan, desahan kecil, bahkan setelahnya mirip lolongan.

Ada saatnya di mana suaranya terdengar bak dengusan babi atau orang yang ngorok. Bulu kudukku kali ini benar-benar meremang.

Kurasakan suara di belakangku kian menyayat hati. Suaranya seakan berasal dari arah tenggorokan bagian dalam, dan bukan lagi suara seseorang yang sedang bernyanyi.

Kuberanikan diri menoleh ke arah belakang, kali ini terasa aneh. Leherku terasa sulit untuk digerakkan.  Tak bisa kupastikan bahwa memang istriku yang ada di jok belakang.

Nyanyiannya atau sekali ini terdengar jelas seperti lolongan, melengking, menjerit, dan …

Ponselku kembali berdering. Masih dengan nama yang sama: Mommy.

Kali ini aku berusaha untuk menerimanya, meski lenganku tiba-tiba terasa kaku untuk digerakkan. Sekuat tenaga kucoba menerima panggilan itu hingga tombol terima berhasil kusentuh.

“Halo, Pah, kamu ke mana saja sih? Disuruh tunggu sebentar malah pergi. Cepetan balik! Sudah malam lagi, pemilik warungnya juga mau pulang, nih!” cerocos suara di seberang telepon yang kukenali sebagai suara istriku.

Deg! Badanku tiba-tiba lemas. Sebuah momen yang terasa janggal. Jika yang di seberang panggilan ini adalah istriku. Lantas, yang di belakang itu siapa?

Di tengah pertanyaan yang masih melintas di kepalaku itu. Sekejap tercium bau amis seperti besi berkarat—atau darah. Yang bercampur aroma busuk.

Lamat-lamat kudengar kembali suara tangisan bayi itu, beradu dengan tangisan seorang perempuan yang menyayat hati dari arah belakang. Dan bagian atas kap mobil sedanku.

“Me-me-mang … nya, kamu di … mana, Mah?” tanyaku terbata-bata.

Pada saat yang sama suara meregah di belakang telah berhenti. Begitupun tangisan perempuan dan bayi, meskipun masih saja aku tak berani menengoknya.

“Bukannya tadi berhenti di warung untuk numpang kencing? Pas udah beres, mobil Papah malah hilang. Ditelpon pun gak diangkat,” cetus Mona.

Perasaanku semakin tak karuan. Belum sempat kututup teleponku. Tetiba saja muncul sesosok perempuan yang kini berada tepat depan mobil. Memaksaku untuk berhenti.

Perempuan dengan wajah yang hancur. Pun bibirnya yang robek dari ujung telinga kiri hingga telinga kanan. Serta sepasang taring yang mencuat menembus bidang pipinya.

Samar terlihat tampak menggendong sosok seperti bayi, dalam pelukan dengan kuku jarinya yang tajam. Sama persis dengan yang diceritakan Mona.

Sosok itu tampak kabur dari pandangan. Menghilang dengan suara tawanya yang melengking dan tajam menusuk hati.

“Ha ha ha ha ha…” dalam rasa takut itu aku ikut tertawa tanpa henti. Benar apa kata Mona, tertawa itu bisa sangat menular. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

Afiks

Mimpi yang Tak Pernah Tidur

Sekumpulan Capung di Atas Pohon Kurma

Raverie Renjana

Seekor Tikus Terkapar di Jalan

spot_img