spot_img
spot_img

Mimpi yang Tak Pernah Tidur

spot_img

Jalanan itu masih lengang. Jarum jam seakan tak bergerak dari angka empat. Masih dingin. Sepi dan berkabut. Dalam kamar yang pengap pemuda itu sekali lagi gagal menjemput tidur malamnya. Entah sudah berapa batang kretek, entah sudah berapa cangkir kopi, dan entah sudah berapa ribu kata yang telah ditulisnya malam ini.

SUARA kipas angin kecil, embus angin membawa kabut tipis dan jangkrik dari kejauhan saja, teman sepanjang malam. Dari kepalanya menyeruak ratusan, bahkan ribuan tanda tanya.

bambang-budionoMalam adalah saat berenang dalam laut pertanyaan. Jarum jam masih tak mau bergeser. Kretek terakhir pun tersulut, dan setelah ini dia hanya bisa memunguti puntungnya sendiri.

“Menepi ke pantai saat angin sedang baik-baiknya”.

Begitulah kalimat terakhir yang ditulisnya sebelum ribuan tanda tanya kembali menyergap kepala.

Di kamarnya tak ada suara musik, tak ada suara pemberitahuan pesan dari handphone. Sunyi, iya hanya sunyi saja. Sesekali hanya suara halaman-halaman buku yang terbuka, atau bara kretek yang membakar cengkeh, selain itu tidak, bahkan dengkur pun tidak.

Jarum jam masih lengket di angka empat. angka ini adalah angka keramat untuknya. Sebab, bila gagal tidur dia akan terjaga dalam dua puluh empat jam ke depan.

Dan ini adalah dini hari ketiga yang gagal dia taklukkan. Matanya yang merah menghadap cermin, hatinya berbisik, “jelek sekali wajah ini,” lalu senyum kecut terlukis di wajahnya.

Tatapan mata merah itu segera menyapu dinding. Sobekan-sobekan koran yang menarasikan perang tertempel compang-camping di sana.

“Andai saja, manusia tak rakus.”

“Andai saja, kata menang hilang dari dunia ini.”

“Andai saja cukup dengan kenyang tanpa hasrat menimbun.”

“Andai saja.”

“Andai saja.”

“Andai saja.”

Mulutnya merancau tak karuan.

“Kenapa orang-orang tak mau menepi saat angin sedang baik?”

Kalimat itu kembali ditulisnya besar dengan tanda tanya merah. Jam bandul mendengung keras. Diempaskan tubuhnya di atas pembaringan.

“Kenapa harus ada angka empat di jam dinding?” Dia menggerutu menahan marah.

Jam empat lewat. Itu artinya, dia akan terjaga untuk dua puluh empat mendatang. Entah bagaimana caranya melatih tubuh. Matanya akan selalu terjaga bila lewat jam empat pagi.

Seberat apa pun kantuk dan lelah yang mendera raganya. Tubuh yang lesu dan lusuh itu diseretnya ke kamar mandi. Hendak cuci muka.

Jarak antara pintu kamar dan kamar mandi seperti membentang berkilometer sangat lelah dan berat untuk menapaki langkah demi langkah. Tak kunjung sampai.

Beberapa kali berhenti ambil napas. Memandangi sekeliling. Yang tampak hanya tembok tua dengan kerusakan di sana-sini pada plesternya.

Mengambil napas panjang lalu kembali mengayun langkah. Gontai dan berat.

Di kepalanya masih tergambar foto-foto senjata berat pada sobekan berita koran, tergambar juga, helm-helm baja tak bertuan tergelat di sembarang medan palagan.

Pertanyaan-pertanyaanya tentang sebab dan hasil dari perang masih terngiang-ngiyang. Bahkan sesekali menghujam hati lalu mengaburkan kesadaran.

Terbayang juga dalam malam-malamnya yang panjang, tentang para pengambil keputusan perang, yang bahkan sepatunya pun tak pernah menginjak lumpur.

Para pengambil keputusan itu, duduk makan daging dan minum anggur mahal di meja perundingan. Dijaga oleh pasukan bersenjata lengkap berlapis-lapis.

Pulang berunding, menikmati hari dengan keluarga, membaca buku dan bercanda dengan anak-anaknya. Letusan senapan pun mungkin tak pernah mereka dengar.

Di podium kebangsaan mereka berpidato seperti orang yang paling mengerti bau mesiu atau sakitnya operasi darurat tanpa bius di medan laga.

Mereka menyusun kalimat berkobar-kobar seperti nyala api. Menghipnotis semua yang mendengarkan untuk segera bergabung di garis depan, dan sekali lagi, dia pulang.

Menikmati roti panggang lembut dengan secangkir teh hangat lalu berkata pada istrinya, “hari ini aku sangat lelah.”

Munafik…….! Bajingan……! Teriak pemuda lusuh itu saat langkahnya semakin dekat dengan kamar mandi.

Kepala tak sanggup lagi membayangkan apa pun. Semua menjadi gelap tubuh ringkih itu ambruk di sebelah keset persis satu langkah sebelum masuk kamar mandi.

Tubuh yang semakin hari semakin kurus itu bahkan tak sanggup membasuh muka. Lama tubuh itu tergelatak di sana. Mungkin kehilangan kesadaran adalah cara terbaik untuk menang bergulat dengan pikiran sendiri.

Tubuh kurus yang pingsan di depan pintu kamar mandi tak mendapat pertolongan. Di rumah itu semua penghuninya bergelut dengan nasib masing-masing.

Dalam pingsannya, dia hanya bisa melihat ibunya di ruang pasung dengan kondisi yang menyayat hati setelah ayahnya yang serdadu pergi perang dan tak pernah kembali. (*)

Jalanan itu masih lengang. Jarum jam seakan tak bergerak dari angka empat. Masih dingin. Sepi dan berkabut. Dalam kamar yang pengap pemuda itu sekali lagi gagal menjemput tidur malamnya. Entah sudah berapa batang kretek, entah sudah berapa cangkir kopi, dan entah sudah berapa ribu kata yang telah ditulisnya malam ini.

SUARA kipas angin kecil, embus angin membawa kabut tipis dan jangkrik dari kejauhan saja, teman sepanjang malam. Dari kepalanya menyeruak ratusan, bahkan ribuan tanda tanya.

bambang-budionoMalam adalah saat berenang dalam laut pertanyaan. Jarum jam masih tak mau bergeser. Kretek terakhir pun tersulut, dan setelah ini dia hanya bisa memunguti puntungnya sendiri.

“Menepi ke pantai saat angin sedang baik-baiknya”.

Begitulah kalimat terakhir yang ditulisnya sebelum ribuan tanda tanya kembali menyergap kepala.

- Advertisement -

Di kamarnya tak ada suara musik, tak ada suara pemberitahuan pesan dari handphone. Sunyi, iya hanya sunyi saja. Sesekali hanya suara halaman-halaman buku yang terbuka, atau bara kretek yang membakar cengkeh, selain itu tidak, bahkan dengkur pun tidak.

Jarum jam masih lengket di angka empat. angka ini adalah angka keramat untuknya. Sebab, bila gagal tidur dia akan terjaga dalam dua puluh empat jam ke depan.

Dan ini adalah dini hari ketiga yang gagal dia taklukkan. Matanya yang merah menghadap cermin, hatinya berbisik, “jelek sekali wajah ini,” lalu senyum kecut terlukis di wajahnya.

Tatapan mata merah itu segera menyapu dinding. Sobekan-sobekan koran yang menarasikan perang tertempel compang-camping di sana.

“Andai saja, manusia tak rakus.”

“Andai saja, kata menang hilang dari dunia ini.”

“Andai saja cukup dengan kenyang tanpa hasrat menimbun.”

“Andai saja.”

“Andai saja.”

“Andai saja.”

Mulutnya merancau tak karuan.

“Kenapa orang-orang tak mau menepi saat angin sedang baik?”

Kalimat itu kembali ditulisnya besar dengan tanda tanya merah. Jam bandul mendengung keras. Diempaskan tubuhnya di atas pembaringan.

“Kenapa harus ada angka empat di jam dinding?” Dia menggerutu menahan marah.

Jam empat lewat. Itu artinya, dia akan terjaga untuk dua puluh empat mendatang. Entah bagaimana caranya melatih tubuh. Matanya akan selalu terjaga bila lewat jam empat pagi.

Seberat apa pun kantuk dan lelah yang mendera raganya. Tubuh yang lesu dan lusuh itu diseretnya ke kamar mandi. Hendak cuci muka.

Jarak antara pintu kamar dan kamar mandi seperti membentang berkilometer sangat lelah dan berat untuk menapaki langkah demi langkah. Tak kunjung sampai.

Beberapa kali berhenti ambil napas. Memandangi sekeliling. Yang tampak hanya tembok tua dengan kerusakan di sana-sini pada plesternya.

Mengambil napas panjang lalu kembali mengayun langkah. Gontai dan berat.

Di kepalanya masih tergambar foto-foto senjata berat pada sobekan berita koran, tergambar juga, helm-helm baja tak bertuan tergelat di sembarang medan palagan.

Pertanyaan-pertanyaanya tentang sebab dan hasil dari perang masih terngiang-ngiyang. Bahkan sesekali menghujam hati lalu mengaburkan kesadaran.

Terbayang juga dalam malam-malamnya yang panjang, tentang para pengambil keputusan perang, yang bahkan sepatunya pun tak pernah menginjak lumpur.

Para pengambil keputusan itu, duduk makan daging dan minum anggur mahal di meja perundingan. Dijaga oleh pasukan bersenjata lengkap berlapis-lapis.

Pulang berunding, menikmati hari dengan keluarga, membaca buku dan bercanda dengan anak-anaknya. Letusan senapan pun mungkin tak pernah mereka dengar.

Di podium kebangsaan mereka berpidato seperti orang yang paling mengerti bau mesiu atau sakitnya operasi darurat tanpa bius di medan laga.

Mereka menyusun kalimat berkobar-kobar seperti nyala api. Menghipnotis semua yang mendengarkan untuk segera bergabung di garis depan, dan sekali lagi, dia pulang.

Menikmati roti panggang lembut dengan secangkir teh hangat lalu berkata pada istrinya, “hari ini aku sangat lelah.”

Munafik…….! Bajingan……! Teriak pemuda lusuh itu saat langkahnya semakin dekat dengan kamar mandi.

Kepala tak sanggup lagi membayangkan apa pun. Semua menjadi gelap tubuh ringkih itu ambruk di sebelah keset persis satu langkah sebelum masuk kamar mandi.

Tubuh yang semakin hari semakin kurus itu bahkan tak sanggup membasuh muka. Lama tubuh itu tergelatak di sana. Mungkin kehilangan kesadaran adalah cara terbaik untuk menang bergulat dengan pikiran sendiri.

Tubuh kurus yang pingsan di depan pintu kamar mandi tak mendapat pertolongan. Di rumah itu semua penghuninya bergelut dengan nasib masing-masing.

Dalam pingsannya, dia hanya bisa melihat ibunya di ruang pasung dengan kondisi yang menyayat hati setelah ayahnya yang serdadu pergi perang dan tak pernah kembali. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

Afiks

Sekumpulan Capung di Atas Pohon Kurma

Raverie Renjana

Seekor Tikus Terkapar di Jalan

Pertemuan Ahli Tarekat

spot_img