spot_img
spot_img

Olhos Azuis

spot_img

Senja melumuri langit ketika seorang wanita dengan langkah gemetar berusaha  mencapai kursi di teras rumah. Saat akhirnya tangan kanannya berhasil meraih pinggiran kursi, terlihat ada kelegaan di wajahnya. Sering ia dinasihati agar minta bantuan jika hendak berjalan ke teras, tetapi tak dihiraukan. Dan bukan hanya sekali dua kali terjatuh akibat sikap keras kepalanya itu—atau mungkin sikap tidak mau merepotkan orang lain.

 

Husnia-Sho
Husnia Sho

WANITA itu duduk memandangi lekat-lekat senja yang merekah di ujung barat. Senja sudah dianggapnya teman bercerita. Tentang segala hal tak beraturan silih berganti muncul diingatan.  Mengurai sepenggal demi sepenggal.

Entah nyata atau sisa-sisa cerita kakek buyutnya. Ia sendiri tidak yakin, sebab ia sering menguping bahwa anaknya mengatakan ia telah pikun.

Selain senja, sebenarnya ada lagi teman setia mendengar segala ceritanya. Dan ia sedang menunggu teman-temannya itu di teras rumah. Mungkin sebentar lagi datang.

Di sebelah kursi tempatnya biasa duduk sengaja diberi tongkat kayu, sewaktu-waktu  bisa digunakan. Tetapi wanita itu pilih berjalan terhuyun dengan kedua kakinya tanpa bantuan.

Dari arah dapur anak kecil dengan rambut berkepang dua membawa secangkir kopi. Tangannya yang mungil tampak kewalahan menjaga keseimbangan, berusaha agar kopi yang diseduh ibunya untuk sang nenek tidak tumpah.

“Itu mereka datang, Nek,” kata anak kecil itu kegirangan melihat dari kejauhan gerombolan anak-anak seusianya.

Iya, mereka itulah teman setia yang dimaksud akan mendengarkan semua cerita dari wanita renta.

Cangkir yang tadi dibawa diletakkan di atas meja samping kursi. Kemudian anak berkepang dua duduk lesehan, diikuti anak yang lain.

“Nenek hari ini mau cerita apa?” tanya seorang anak tak sabar.

“Nenek akan cerita kapal yang sangat besar…” Seorang anak mengangkat kedua tangan ke atas membentuk lingkaran.

“Sebesar ini ya, Nek?” tanyanya.

Dibalas senyuman wanita itu lalu cerita pun dimulai disambut tepuk tangan antusias.

Ratusan tahun silam, kapal-kapal besar mengarungi samudra. Layarnya terkembang membumbung tinggi bak pengintai yang ingin segera menguasai daratan.

Kapal-kapal itu telah menerjang ganasnya ombak selama berbulan-bulan di tengah laut luas. Sekali lagi, wanita itu tak yakin cerita darinya nyata, tetapi peristiwa-peristiwa itu seolah tergambar jelas di hadapannya kala ia bercerita.

Dan ketika melihat daratan menghijau seperti batu zamrud, kapal itu pun berlabuh. Ya, di tanah M ini kapal-kapal itu melabuhkan tujuan besar; tujuan menguasai rempah-rempah.

Dengan suara lirih wanita itu terus bercerita, kadang berhenti sejenak sebatas mengatur napas yang tidak stabil.

Ia bercerita seperti ada lanskap masa lalu tergambar di benaknya. Ketika orang-orang Portugis turun dari kapal-kapal besar membawa persenjataan lengkap. Lalu mendirikan benteng-benteng kokoh menaklukkan tanah M yang menjadi komoditas utama di timur dan barat.

Tanah M jalur strategis untuk perdagangan. Perebutan tak dapat dihindarkan. Akhirnya Portugis berhasil menaklukkan tanah M.

Setelah tujuan mereka tercapai, sebagian kembali ke negara asal, sebagian lagi  memilih menikahi penduduk setempat.

Keturunan mereka mewarisi darah  campuran, stereotip mirip orang-orang Eropa. Berkulit putih, hidung mancung, berpostur tinggi, rambut pirang, dan bermata biru.

“Mata biru seperti nenek?” celetuk seorang anak yang duduk di samping kiri.

“Iya,” jawab wanita tua itu sembari mengangguk.

Jika kau dekatkan pandangan ke arah matanya, kau akan mendapati bola mata biru, sebiru langit cerah.

Kecantikan wanita itu tak memudar. Tubuhnya yang renta tak mampu menyembunyikan kecantikannya semasa muda.

Sungguh, lewat matanya kau bisa lihat keindahan ciptaan Tuhan.

Tangan wanita itu meraih gagang cangkir lalu menyeruput kopi favoritnya.

Kopi itu hasil bumi tanah M, punya aroma khas apalagi jika ditumbuk manual, aromanya makin keluar.

Di usia yang hampir seabad, tak banyak yang dapat ia lakukan, semua aktivitasnya  terbatas hanya di rumah, ditemani cucu serta teman-teman kecilnya.

“Ayolah, Nek, cerita lagi…” pinta cucunya dengan tetiba memijat pundaknya, merengek agar sang nenek meneruskan cerita.

Dilanjut dua anak lain memijat bagian tangan dan kaki.

Wanita berbadan renta itu hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Mengingatkan masa kecilnya, saat ia ingin dibelikan baju baru, ia akan melakukan hal serupa pada orang tuanya.

Ceritapun berlanjut. Orang-orang Portugis yang menikahi penduduk tanah M membaur bertukar bahasa juga adat istiadat setempat.

Mereka melahirkan anak, diteruskan cucu hingga keturunan berikutnya. Itu juga yang terjadi dengan wanita itu. Tetapi keturunannya tidak mewarisi keseluruhan cirinya.

Berbeda dengannya yang berambut pirang dan bermata biru. Rambut pirangnya tak selalu ia biarkan terurai, lebih sering digelung untuk memudahkan beraktivitas.

Cucunya sering membantunya menyisir rambut, sembari bertanya ini itu. Sedangkan siapapun yang melihat matanya akan tahu bahwa ada dua darah mengalir dalam dirinya.

Saat ia mengerjap, kedua bola matanya memantul kebiruan. Terlihat seperti langit kecil yang menawan. Membuat siapa pun terkesiap tak ingin alihkan pandang.

Sering ia didatangi tamu karena penasaran keunikan mata birunya. Tetapi ia curiga, tamutamu datang tak sekadar itu, ada maksud lain seperti melihat bukti sejarah yang terlukis lewat kedua matanya.

Baginya, mata birunya mengajarkan tentang dua hal: pemberian dan penerimaan.

Lagi, wanita itu menghentikan cerita di tengah-tengah. Napasnya terdengar ngik-ngik. Ia menarik napas perlahan lalu mengaturnya kembali normal.

Ia pernah ditegur agar tidak sering bercerita, tetapi tidak mau—tentu karena sikap keras kepalanya. Ia masih saja suka bercerita.

Padahal, kata demi kata yang keluar dari mulutnya tidak penuh sempurna, terbata akibat gigi ompongnya.

Dalam tiap bagian ceritanya diam-diam menyusupkan semangat ke dalam jiwanya yang renta. Sekelebat ingatan masa mudanya, yang timbul tenggelam tak ingin dilupa, ingin merangkainya ke dalam keutuhan cerita untuk dibagikan pada teman-teman kecilnya.

Ia menyeruput sisa kopi terakhir, membiarkan aroma wanginya menyeruak ke hidung.

Senja yang ranum menemani hari-harinya. Ia ingin belajar dari senja, sabar menunggu terenggut malam. Sama seperti dirinya yang tua, menunggu waktunya tiba.

Ia satu-satunya wanita bermata biru yang tersisa di tanah M. Sebelumnya ada puluhan, seiring usia meninggal satu per satu.

Keturunan berikutnya hanya mewarisi ciri kulit putih atau hidung mancung.

Angin berhembus sepoi menggetarkan dedaun di sekitar rumah, sesekali mampir mengenai kulit keriput wanita itu.

Senja sebentar lagi menghilang, saatnya teman-teman kecilnya pulang. Tinggallah ia dan senja seorang.

“Nek, waktunya masuk ke dalam rumah,” pinta cucunya.

Tetapi wanita itu ingin berduaan saja dengan senja. Mengagumi dari kejauhan saat lamat-lamat jingganya tenggelam tertelan malam.

Ada perasaan haru yang tiba-tiba memenuhi rongga dada. Ia ada karena nenek moyangnya. Ia lahir dan menua di tanah Nusantara.

Bagaimana ia bisa memilih ke mana rasa cintanya berlebih? Sementara di matanya ada jejak yang masih.

“Olhos Azuis,” ucapnya lirih pada dirinya sendiri yang berarti mata biru. (*)

Senja melumuri langit ketika seorang wanita dengan langkah gemetar berusaha  mencapai kursi di teras rumah. Saat akhirnya tangan kanannya berhasil meraih pinggiran kursi, terlihat ada kelegaan di wajahnya. Sering ia dinasihati agar minta bantuan jika hendak berjalan ke teras, tetapi tak dihiraukan. Dan bukan hanya sekali dua kali terjatuh akibat sikap keras kepalanya itu—atau mungkin sikap tidak mau merepotkan orang lain.

 

Husnia-Sho
Husnia Sho

WANITA itu duduk memandangi lekat-lekat senja yang merekah di ujung barat. Senja sudah dianggapnya teman bercerita. Tentang segala hal tak beraturan silih berganti muncul diingatan.  Mengurai sepenggal demi sepenggal.

Entah nyata atau sisa-sisa cerita kakek buyutnya. Ia sendiri tidak yakin, sebab ia sering menguping bahwa anaknya mengatakan ia telah pikun.

Selain senja, sebenarnya ada lagi teman setia mendengar segala ceritanya. Dan ia sedang menunggu teman-temannya itu di teras rumah. Mungkin sebentar lagi datang.

- Advertisement -

Di sebelah kursi tempatnya biasa duduk sengaja diberi tongkat kayu, sewaktu-waktu  bisa digunakan. Tetapi wanita itu pilih berjalan terhuyun dengan kedua kakinya tanpa bantuan.

Dari arah dapur anak kecil dengan rambut berkepang dua membawa secangkir kopi. Tangannya yang mungil tampak kewalahan menjaga keseimbangan, berusaha agar kopi yang diseduh ibunya untuk sang nenek tidak tumpah.

“Itu mereka datang, Nek,” kata anak kecil itu kegirangan melihat dari kejauhan gerombolan anak-anak seusianya.

Iya, mereka itulah teman setia yang dimaksud akan mendengarkan semua cerita dari wanita renta.

Cangkir yang tadi dibawa diletakkan di atas meja samping kursi. Kemudian anak berkepang dua duduk lesehan, diikuti anak yang lain.

“Nenek hari ini mau cerita apa?” tanya seorang anak tak sabar.

“Nenek akan cerita kapal yang sangat besar…” Seorang anak mengangkat kedua tangan ke atas membentuk lingkaran.

“Sebesar ini ya, Nek?” tanyanya.

Dibalas senyuman wanita itu lalu cerita pun dimulai disambut tepuk tangan antusias.

Ratusan tahun silam, kapal-kapal besar mengarungi samudra. Layarnya terkembang membumbung tinggi bak pengintai yang ingin segera menguasai daratan.

Kapal-kapal itu telah menerjang ganasnya ombak selama berbulan-bulan di tengah laut luas. Sekali lagi, wanita itu tak yakin cerita darinya nyata, tetapi peristiwa-peristiwa itu seolah tergambar jelas di hadapannya kala ia bercerita.

Dan ketika melihat daratan menghijau seperti batu zamrud, kapal itu pun berlabuh. Ya, di tanah M ini kapal-kapal itu melabuhkan tujuan besar; tujuan menguasai rempah-rempah.

Dengan suara lirih wanita itu terus bercerita, kadang berhenti sejenak sebatas mengatur napas yang tidak stabil.

Ia bercerita seperti ada lanskap masa lalu tergambar di benaknya. Ketika orang-orang Portugis turun dari kapal-kapal besar membawa persenjataan lengkap. Lalu mendirikan benteng-benteng kokoh menaklukkan tanah M yang menjadi komoditas utama di timur dan barat.

Tanah M jalur strategis untuk perdagangan. Perebutan tak dapat dihindarkan. Akhirnya Portugis berhasil menaklukkan tanah M.

Setelah tujuan mereka tercapai, sebagian kembali ke negara asal, sebagian lagi  memilih menikahi penduduk setempat.

Keturunan mereka mewarisi darah  campuran, stereotip mirip orang-orang Eropa. Berkulit putih, hidung mancung, berpostur tinggi, rambut pirang, dan bermata biru.

“Mata biru seperti nenek?” celetuk seorang anak yang duduk di samping kiri.

“Iya,” jawab wanita tua itu sembari mengangguk.

Jika kau dekatkan pandangan ke arah matanya, kau akan mendapati bola mata biru, sebiru langit cerah.

Kecantikan wanita itu tak memudar. Tubuhnya yang renta tak mampu menyembunyikan kecantikannya semasa muda.

Sungguh, lewat matanya kau bisa lihat keindahan ciptaan Tuhan.

Tangan wanita itu meraih gagang cangkir lalu menyeruput kopi favoritnya.

Kopi itu hasil bumi tanah M, punya aroma khas apalagi jika ditumbuk manual, aromanya makin keluar.

Di usia yang hampir seabad, tak banyak yang dapat ia lakukan, semua aktivitasnya  terbatas hanya di rumah, ditemani cucu serta teman-teman kecilnya.

“Ayolah, Nek, cerita lagi…” pinta cucunya dengan tetiba memijat pundaknya, merengek agar sang nenek meneruskan cerita.

Dilanjut dua anak lain memijat bagian tangan dan kaki.

Wanita berbadan renta itu hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Mengingatkan masa kecilnya, saat ia ingin dibelikan baju baru, ia akan melakukan hal serupa pada orang tuanya.

Ceritapun berlanjut. Orang-orang Portugis yang menikahi penduduk tanah M membaur bertukar bahasa juga adat istiadat setempat.

Mereka melahirkan anak, diteruskan cucu hingga keturunan berikutnya. Itu juga yang terjadi dengan wanita itu. Tetapi keturunannya tidak mewarisi keseluruhan cirinya.

Berbeda dengannya yang berambut pirang dan bermata biru. Rambut pirangnya tak selalu ia biarkan terurai, lebih sering digelung untuk memudahkan beraktivitas.

Cucunya sering membantunya menyisir rambut, sembari bertanya ini itu. Sedangkan siapapun yang melihat matanya akan tahu bahwa ada dua darah mengalir dalam dirinya.

Saat ia mengerjap, kedua bola matanya memantul kebiruan. Terlihat seperti langit kecil yang menawan. Membuat siapa pun terkesiap tak ingin alihkan pandang.

Sering ia didatangi tamu karena penasaran keunikan mata birunya. Tetapi ia curiga, tamutamu datang tak sekadar itu, ada maksud lain seperti melihat bukti sejarah yang terlukis lewat kedua matanya.

Baginya, mata birunya mengajarkan tentang dua hal: pemberian dan penerimaan.

Lagi, wanita itu menghentikan cerita di tengah-tengah. Napasnya terdengar ngik-ngik. Ia menarik napas perlahan lalu mengaturnya kembali normal.

Ia pernah ditegur agar tidak sering bercerita, tetapi tidak mau—tentu karena sikap keras kepalanya. Ia masih saja suka bercerita.

Padahal, kata demi kata yang keluar dari mulutnya tidak penuh sempurna, terbata akibat gigi ompongnya.

Dalam tiap bagian ceritanya diam-diam menyusupkan semangat ke dalam jiwanya yang renta. Sekelebat ingatan masa mudanya, yang timbul tenggelam tak ingin dilupa, ingin merangkainya ke dalam keutuhan cerita untuk dibagikan pada teman-teman kecilnya.

Ia menyeruput sisa kopi terakhir, membiarkan aroma wanginya menyeruak ke hidung.

Senja yang ranum menemani hari-harinya. Ia ingin belajar dari senja, sabar menunggu terenggut malam. Sama seperti dirinya yang tua, menunggu waktunya tiba.

Ia satu-satunya wanita bermata biru yang tersisa di tanah M. Sebelumnya ada puluhan, seiring usia meninggal satu per satu.

Keturunan berikutnya hanya mewarisi ciri kulit putih atau hidung mancung.

Angin berhembus sepoi menggetarkan dedaun di sekitar rumah, sesekali mampir mengenai kulit keriput wanita itu.

Senja sebentar lagi menghilang, saatnya teman-teman kecilnya pulang. Tinggallah ia dan senja seorang.

“Nek, waktunya masuk ke dalam rumah,” pinta cucunya.

Tetapi wanita itu ingin berduaan saja dengan senja. Mengagumi dari kejauhan saat lamat-lamat jingganya tenggelam tertelan malam.

Ada perasaan haru yang tiba-tiba memenuhi rongga dada. Ia ada karena nenek moyangnya. Ia lahir dan menua di tanah Nusantara.

Bagaimana ia bisa memilih ke mana rasa cintanya berlebih? Sementara di matanya ada jejak yang masih.

“Olhos Azuis,” ucapnya lirih pada dirinya sendiri yang berarti mata biru. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

Afiks

Mimpi yang Tak Pernah Tidur

Sekumpulan Capung di Atas Pohon Kurma

Raverie Renjana

Seekor Tikus Terkapar di Jalan

spot_img