spot_img
spot_img

Tradisi Tabuh Lesung saat Gerhana Mulai Hilang

spot_img

Radartuban.jawapos.com-Tradisi lawas menabuh lesung di Tuban saat terjadi gerhana bulan, kini tinggal kenangan.

Dikonfirmasi Jawa Pos Radar Tuban, Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Kebudayaan Dinas Kebudayaan Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Tuban Eko Hardoyo menuturkan, tradisi tersebut kini sudah tak terdeteksi lagi di Bumi Ronggolawe.

Eko, sapaannya, mengemukakan, beberapa daerah kantong kebudayaan di Tuban, termasuk di kampung halamannya sendiri, Desa Sukorejo, Kecamatan Parengan sudah lama tidak menggelar tradisi tersebut.

Dia menuturkan, tradisi yang biasa dilakukan para kaum wanita itu masih marak di desanya pada 1980-an hingga 1990-an. ‘’Mulai tahun 2000-an sudah tidak terdeteksi lagi,’’ ujarnya kemarin (8/11).

Eko mengungkapkan, banyak faktor penyebab hilangnya kearifan lokal tersebut. Salah satunya, perkembangan pemikiran masyarakat yang kurang percaya Batarakala sedang melahap bulan ketika gerhana terjadi. Untuk menghalangi agar bulan tak dilahap, kata dia, lesung pun dipukuli.

Menurut Eko, modernitas alat pertanian yang tak mengakomodir lesung juga bisa menjadi pemicu utama lunturnya ritus tersebut.

Ditanya upaya pengembalian tradisi tersebut, pemrakarsa Sanggar Seni Ngripto Raras itu mengatakan, masih memungkinkan untuk diselamatkan.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Desa Prunggahan Wetan, Kecamatan Semanding Hari Winarko mengatakan, meski desanya termasuk kantong budaya, tradisi pukul lesung saat terjadi gerhana bulan sudah tidak ada lagi. Dia mengutarakan, tradisi tersebut marak di desanya sebelum 1980-an.

‘’Suara lesung itu bersahut-sahutan selama berlangsung gerhana bulan. Suasananya menegangkan, tapi semarak. Saya ingat sekali,’’ kenangnya.

Selain lesung, pria yang juga warga asli desa setempat itu menyampaikan, masyarakat desanya juga memukuli pohon berbuah dengan guling atau bantal supaya buahnya lebat, manis, enak. Anak-anak kecil juga di-cindil kepalanya.

‘’Dipegang, ditarik, supaya cepat tumbuh besar,’’ terang dia menggambarkan makna cindil.

Kades dua periode itu melanjutkan, kecil kemungkinan mengembalikan atau melestarikan tradisi pukul lesung ketika terjadi gerhana bulan.

Selain masyarakatnya sudah tidak akrab dengan tradisi tersebut, lesung-lesung yang dulu dimiliki warganya telah dibeli para kolektor barang antik.

Siswoko, kepala Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding menyampaikan hal yang sama. Tradisi pukul lesung selama gerhana bulan sudah punah di desanya. Padahal, desanya termasuk kantong budaya, bahkan ditajuki Kota Lama Tuban.

‘’Sudah tak ada sejak 2000-an. Masyarakat tiada yang tahu lagi. Juga lesungnya sudah dibeli para kolektor barang antik,’’ tuturnya.

Yoyok, seniman sekaligus budayawan Kecamatan Jatirogo memberikan informasi serupa. Di daerah pinggiran Jatirogo pun tradisi pukul lesung saat gerhana bulan telah tiada.

Pria yang berdomisili di Desa Sadang, Kecamatan Jatirogo itu membenarkan, lesung-lesung yang menjadi peranti tradisi itu kini banyak teronggok di rumah para kolektor barang antik. Dijual dengan harga cukup fantastis, sekitar Rp 3,5 juta per buah. (sab/ds)

Radartuban.jawapos.com-Tradisi lawas menabuh lesung di Tuban saat terjadi gerhana bulan, kini tinggal kenangan.

Dikonfirmasi Jawa Pos Radar Tuban, Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Kebudayaan Dinas Kebudayaan Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Tuban Eko Hardoyo menuturkan, tradisi tersebut kini sudah tak terdeteksi lagi di Bumi Ronggolawe.

Eko, sapaannya, mengemukakan, beberapa daerah kantong kebudayaan di Tuban, termasuk di kampung halamannya sendiri, Desa Sukorejo, Kecamatan Parengan sudah lama tidak menggelar tradisi tersebut.

Dia menuturkan, tradisi yang biasa dilakukan para kaum wanita itu masih marak di desanya pada 1980-an hingga 1990-an. ‘’Mulai tahun 2000-an sudah tidak terdeteksi lagi,’’ ujarnya kemarin (8/11).

Eko mengungkapkan, banyak faktor penyebab hilangnya kearifan lokal tersebut. Salah satunya, perkembangan pemikiran masyarakat yang kurang percaya Batarakala sedang melahap bulan ketika gerhana terjadi. Untuk menghalangi agar bulan tak dilahap, kata dia, lesung pun dipukuli.

- Advertisement -

Menurut Eko, modernitas alat pertanian yang tak mengakomodir lesung juga bisa menjadi pemicu utama lunturnya ritus tersebut.

Ditanya upaya pengembalian tradisi tersebut, pemrakarsa Sanggar Seni Ngripto Raras itu mengatakan, masih memungkinkan untuk diselamatkan.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Desa Prunggahan Wetan, Kecamatan Semanding Hari Winarko mengatakan, meski desanya termasuk kantong budaya, tradisi pukul lesung saat terjadi gerhana bulan sudah tidak ada lagi. Dia mengutarakan, tradisi tersebut marak di desanya sebelum 1980-an.

‘’Suara lesung itu bersahut-sahutan selama berlangsung gerhana bulan. Suasananya menegangkan, tapi semarak. Saya ingat sekali,’’ kenangnya.

Selain lesung, pria yang juga warga asli desa setempat itu menyampaikan, masyarakat desanya juga memukuli pohon berbuah dengan guling atau bantal supaya buahnya lebat, manis, enak. Anak-anak kecil juga di-cindil kepalanya.

‘’Dipegang, ditarik, supaya cepat tumbuh besar,’’ terang dia menggambarkan makna cindil.

Kades dua periode itu melanjutkan, kecil kemungkinan mengembalikan atau melestarikan tradisi pukul lesung ketika terjadi gerhana bulan.

Selain masyarakatnya sudah tidak akrab dengan tradisi tersebut, lesung-lesung yang dulu dimiliki warganya telah dibeli para kolektor barang antik.

Siswoko, kepala Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding menyampaikan hal yang sama. Tradisi pukul lesung selama gerhana bulan sudah punah di desanya. Padahal, desanya termasuk kantong budaya, bahkan ditajuki Kota Lama Tuban.

‘’Sudah tak ada sejak 2000-an. Masyarakat tiada yang tahu lagi. Juga lesungnya sudah dibeli para kolektor barang antik,’’ tuturnya.

Yoyok, seniman sekaligus budayawan Kecamatan Jatirogo memberikan informasi serupa. Di daerah pinggiran Jatirogo pun tradisi pukul lesung saat gerhana bulan telah tiada.

Pria yang berdomisili di Desa Sadang, Kecamatan Jatirogo itu membenarkan, lesung-lesung yang menjadi peranti tradisi itu kini banyak teronggok di rumah para kolektor barang antik. Dijual dengan harga cukup fantastis, sekitar Rp 3,5 juta per buah. (sab/ds)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img