spot_img
spot_img

Rekonstruksi Kanjuruhan, Tak Ada Gas Air Mata Ditembakkan ke Tribun

spot_img

Radartuban.jawapos.com – Rekonstruksi tragedi Kanjuruhan yang digelar di lapangan sepak bola Polda Jatim kemarin (19/10) itu bertolak belakang dengan fakta yang terekam dalam sejumlah video saat kejadian pada Sabtu (1/10) lalu. Salah satu hal yang paling mencolok yakni tak ada tembakan gas air mata yang jatuh sampai ke tribun. Tembakan hanya diarahkan ke sentelban.

”Tidak masalah. Tersangka punya hak ingkar. Tetapi, penyidik juga punya keyakinan dan alat bukti yang nanti akan dipertanggungjawabkan dalam persidangan,” kata Kadivhumas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo.

Menurut Dedi, rekonstruksi itu merupakan materi dari penyidikan. Dalam arti, prosesnya didasari oleh pengakuan tersangka saat diperiksa. Rekonstruksi dimulai pukul 08.00. Tim penyidik menghadirkan 54 orang saksi dari Satbrimob Polda Jatim dan pemeran pengganti suporter dari personel Ditreskrimum Polda Jatim. Ditambah tiga polisi yang menjadi tersangka. Yakni Kompol Wahyu Setyo Pranoto, AKP Hasdarmawan, dan AKP Bambang Sidik Achmadi.

Terdapat 30 adegan yang diperagakan selama rekonstruksi. Dimulai dengan masuknya sejumlah suporter ke lapangan yang dihalau petugas Brimob. Mereka diminta kembali ke tribun. Tetapi, suporter yang masuk ternyata bertambah banyak.

Dalam adegan ke-19, tembakan gas air mata mulai dilontarkan petugas untuk menghalau massa. Instruksi itu datang dari Hasdarmawan. Amunisi berwarna biru ditembakkan dari senjata laras panjang ke sisi selatan stadion. Perintah serupa kemudian diikuti dua tersangka lain. Tetapi, sasaran tembakan tidak sama. Dalam rekonstruksi itu tidak disebutkan jatuhnya gas air mata sampai ke tribun. Amunisi selalu disebut hanya jatuh ke sentelban.

Dedi menyatakan, rekonstruksi itu merupakan tindak lanjut dari salah satu rekomendasi tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF). Tujuannya, menjaga penyidikan berjalan transparan.

”Hadir di sini perwakilan dari TGIPF, kejaksaan tinggi, dan Kadivpropam untuk ikut menyaksikan prosesnya secara langsung,” ungkapnya.

Menurut jenderal bintang dua itu, fokus pelaksanaan rekonstruksi adalah peran tiga tersangka dari polisi di lapangan.

Penyidik juga sedang bersiap melaksanakan rekomendasi lain dari TGIPF, yakni mengotopsi dua korban jiwa. Dalam prosesnya, penyidik berpedoman pada Pasal 134 KUHAP. ”Harus ada komunikasi dengan pihak keluarga. Ini yang akan segera dilakukan,” jelasnya.

Namun, rencana melakukan ekshumasi atau penggalian kubur korban tragedi Kanjuruhan pagi ini dipastikan batal. Sejatinya, proses penggalian kubur untuk otopsi itu dilakukan terhadap dua putri Devi Athok, yakni Natasya Debi Ramadhani (Tasya), 16, dan Naila Debi Anggraeni, 14. Keduanya sudah dikebumikan di Desa Krebet Senggrong, Bululawang, Kabupaten Malang.

Devi semula begitu ngotot ingin melakukan ekshumasi. Alasannya, dia sempat mendengar keterangan polisi yang menyebut korban meninggal karena kekurangan oksigen dan berdesakan.

Aku gak terimo, Mas! Saya yakin anak-anak saya ini meninggal karena gas air mata,” ujar dia saat ditemui Jawa Pos di kediamannya di Jalan Demang Jaya, Bululawang.

Devi kemudian menyewa pengacara untuk pendampingan. Pada 10 Oktober, dia mengirim surat resmi kepada pihak kepolisian. Isinya, dia siap jika anaknya harus diekshumasi. ”Saya ingin publik tahu apa yang terjadi sebenarnya,” kata dia.

Namun, esoknya (11/10), sudah ada pria berpakaian putih duduk-duduk di depan rumahnya. Devi tidak menaruh curiga sama sekali. Sampai akhirnya ada rombongan polisi mendatangi rumahnya. Dia tidak ingat berapa jumlah polisi yang datang.

”Pokoknya banyak, semua berpakaian putih. Hanya satu yang pakai seragam sabhara. Satu lagi Kapolsek yang pakai pakaian dinas lengkap,” papar bapak dua anak itu.

Apa yang dibicarakan dengan pihak kepolisian? Awalnya Devi ditanya soal alasan mengajukan ekshumasi.

”Kemudian, mereka memastikan proses ekshumasi akan dilakukan oleh tim dokter dari kepolisian. Dari situ saya kaget. Saya nggak mau kalau dokter yang melakukan otopsi dari kepolisian. Harus dari luar,” ungkap Devi.

Setelah itu rombongan polisi tersebut pulang.

Rombongan itu kembali lagi sebanyak dua kali. Kedatangan ketiga pada 17 Oktober menjadi puncaknya. Devi sampai mencabut surat pengajuan ekshumasi.

”Saya menulis surat pembatalan ekshumasi di depan polisi. Saya sendiri yang tulis. Tapi diarahkan oleh polisi,” ungkap Devi.

Apakah ada intimidasi? Dia tidak mau berbicara banyak. Devi hanya mengatakan tak mau memaksakan kehendak untuk ekshumasi.

”Apalagi, selama saya didatangi polisi, pengacara saya tidak pernah mendampingi. Siapa yang nggak takut kalau didatangi banyak polisi?” bebernya.

Dia juga kecewa dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). ”Saya sudah tanda tangan, minta perlindungan, tapi tidak ada,” keluhnya.

Menanggapi hal itu, Kapolda Jatim Irjen Toni Harmanto mengaku tidak ada intimidasi dari kepolisian kepada keluarga korban tragedi Kanjuruhan.

”Tidak benar itu (ada intimidasi kepada keluarga korban, Red). Tidak benar sama sekali. Silakan mengonfirmasi hal itu,” kata Kapolda  saat sesi keterangan pers di RSUD Saiful Anwar Malang.

Sempat ada kabar adanya ekshumasi lain di kawasan Wajak, Kabupaten Malang. Namun, sampai saat ini belum ada kepastian. ”Karena bagaimana pun pelaksanaan otopsi harus ada persetujuan dari keluarga korban. Dan, dari informasi yang saya peroleh, hingga saat ini keluarga sementara belum menghendaki untuk melakukan otopsi,” terang jenderal bintang dua tersebut. (JPG)

Radartuban.jawapos.com – Rekonstruksi tragedi Kanjuruhan yang digelar di lapangan sepak bola Polda Jatim kemarin (19/10) itu bertolak belakang dengan fakta yang terekam dalam sejumlah video saat kejadian pada Sabtu (1/10) lalu. Salah satu hal yang paling mencolok yakni tak ada tembakan gas air mata yang jatuh sampai ke tribun. Tembakan hanya diarahkan ke sentelban.

”Tidak masalah. Tersangka punya hak ingkar. Tetapi, penyidik juga punya keyakinan dan alat bukti yang nanti akan dipertanggungjawabkan dalam persidangan,” kata Kadivhumas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo.

Menurut Dedi, rekonstruksi itu merupakan materi dari penyidikan. Dalam arti, prosesnya didasari oleh pengakuan tersangka saat diperiksa. Rekonstruksi dimulai pukul 08.00. Tim penyidik menghadirkan 54 orang saksi dari Satbrimob Polda Jatim dan pemeran pengganti suporter dari personel Ditreskrimum Polda Jatim. Ditambah tiga polisi yang menjadi tersangka. Yakni Kompol Wahyu Setyo Pranoto, AKP Hasdarmawan, dan AKP Bambang Sidik Achmadi.

Terdapat 30 adegan yang diperagakan selama rekonstruksi. Dimulai dengan masuknya sejumlah suporter ke lapangan yang dihalau petugas Brimob. Mereka diminta kembali ke tribun. Tetapi, suporter yang masuk ternyata bertambah banyak.

Dalam adegan ke-19, tembakan gas air mata mulai dilontarkan petugas untuk menghalau massa. Instruksi itu datang dari Hasdarmawan. Amunisi berwarna biru ditembakkan dari senjata laras panjang ke sisi selatan stadion. Perintah serupa kemudian diikuti dua tersangka lain. Tetapi, sasaran tembakan tidak sama. Dalam rekonstruksi itu tidak disebutkan jatuhnya gas air mata sampai ke tribun. Amunisi selalu disebut hanya jatuh ke sentelban.

- Advertisement -

Dedi menyatakan, rekonstruksi itu merupakan tindak lanjut dari salah satu rekomendasi tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF). Tujuannya, menjaga penyidikan berjalan transparan.

”Hadir di sini perwakilan dari TGIPF, kejaksaan tinggi, dan Kadivpropam untuk ikut menyaksikan prosesnya secara langsung,” ungkapnya.

Menurut jenderal bintang dua itu, fokus pelaksanaan rekonstruksi adalah peran tiga tersangka dari polisi di lapangan.

Penyidik juga sedang bersiap melaksanakan rekomendasi lain dari TGIPF, yakni mengotopsi dua korban jiwa. Dalam prosesnya, penyidik berpedoman pada Pasal 134 KUHAP. ”Harus ada komunikasi dengan pihak keluarga. Ini yang akan segera dilakukan,” jelasnya.

Namun, rencana melakukan ekshumasi atau penggalian kubur korban tragedi Kanjuruhan pagi ini dipastikan batal. Sejatinya, proses penggalian kubur untuk otopsi itu dilakukan terhadap dua putri Devi Athok, yakni Natasya Debi Ramadhani (Tasya), 16, dan Naila Debi Anggraeni, 14. Keduanya sudah dikebumikan di Desa Krebet Senggrong, Bululawang, Kabupaten Malang.

Devi semula begitu ngotot ingin melakukan ekshumasi. Alasannya, dia sempat mendengar keterangan polisi yang menyebut korban meninggal karena kekurangan oksigen dan berdesakan.

Aku gak terimo, Mas! Saya yakin anak-anak saya ini meninggal karena gas air mata,” ujar dia saat ditemui Jawa Pos di kediamannya di Jalan Demang Jaya, Bululawang.

Devi kemudian menyewa pengacara untuk pendampingan. Pada 10 Oktober, dia mengirim surat resmi kepada pihak kepolisian. Isinya, dia siap jika anaknya harus diekshumasi. ”Saya ingin publik tahu apa yang terjadi sebenarnya,” kata dia.

Namun, esoknya (11/10), sudah ada pria berpakaian putih duduk-duduk di depan rumahnya. Devi tidak menaruh curiga sama sekali. Sampai akhirnya ada rombongan polisi mendatangi rumahnya. Dia tidak ingat berapa jumlah polisi yang datang.

”Pokoknya banyak, semua berpakaian putih. Hanya satu yang pakai seragam sabhara. Satu lagi Kapolsek yang pakai pakaian dinas lengkap,” papar bapak dua anak itu.

Apa yang dibicarakan dengan pihak kepolisian? Awalnya Devi ditanya soal alasan mengajukan ekshumasi.

”Kemudian, mereka memastikan proses ekshumasi akan dilakukan oleh tim dokter dari kepolisian. Dari situ saya kaget. Saya nggak mau kalau dokter yang melakukan otopsi dari kepolisian. Harus dari luar,” ungkap Devi.

Setelah itu rombongan polisi tersebut pulang.

Rombongan itu kembali lagi sebanyak dua kali. Kedatangan ketiga pada 17 Oktober menjadi puncaknya. Devi sampai mencabut surat pengajuan ekshumasi.

”Saya menulis surat pembatalan ekshumasi di depan polisi. Saya sendiri yang tulis. Tapi diarahkan oleh polisi,” ungkap Devi.

Apakah ada intimidasi? Dia tidak mau berbicara banyak. Devi hanya mengatakan tak mau memaksakan kehendak untuk ekshumasi.

”Apalagi, selama saya didatangi polisi, pengacara saya tidak pernah mendampingi. Siapa yang nggak takut kalau didatangi banyak polisi?” bebernya.

Dia juga kecewa dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). ”Saya sudah tanda tangan, minta perlindungan, tapi tidak ada,” keluhnya.

Menanggapi hal itu, Kapolda Jatim Irjen Toni Harmanto mengaku tidak ada intimidasi dari kepolisian kepada keluarga korban tragedi Kanjuruhan.

”Tidak benar itu (ada intimidasi kepada keluarga korban, Red). Tidak benar sama sekali. Silakan mengonfirmasi hal itu,” kata Kapolda  saat sesi keterangan pers di RSUD Saiful Anwar Malang.

Sempat ada kabar adanya ekshumasi lain di kawasan Wajak, Kabupaten Malang. Namun, sampai saat ini belum ada kepastian. ”Karena bagaimana pun pelaksanaan otopsi harus ada persetujuan dari keluarga korban. Dan, dari informasi yang saya peroleh, hingga saat ini keluarga sementara belum menghendaki untuk melakukan otopsi,” terang jenderal bintang dua tersebut. (JPG)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img