spot_img
spot_img

Hak Ingkar

spot_img

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Tuban menyatakan bahwa pengusutan kasus penggelembungan suara di daerah pemilihan (dapil) 3 (Kecamatan Soko, Rengel, Semanding, dan Grabagan) sudah selesai.

Hasil sidang pelanggaran kode etik Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Tuban berdasar rekomendasi Bawaslu, menyatakan 14 anggota pemilihan kecamatan (PPK) terbukti melakukan penggelembungan suara untuk Partai Nasdem.

Dari 14 anggota yang terlibat, 11 anggota dikenai sanksi peringatan dan 3 anggota dijatuhi sanksi pemecatan.

Selama menjalani pemeriksaan, seluruh anggota PPK yang terlibat keukeuh bahwa praktik lancung dalam pemilu itu atas inisiatif sendiri.  Tidak ada yang memerintah.

Sungguh perbuatan culas yang sangat mulia demi membantu salah satu caleg agar lolos menjadi anggota DPRD.

Oleh Bawaslu, keterangan yang disampaikan oleh PPK tersebut di anggap final. Tapi tidak oleh Ketua DPC PKB Tuban Miyadi dan Sekretaris Gerindra Lutfi Firman syah.

Dalam pernyataannya (Jawa Pos Radar Tuban, Kamis, 7/3), Miyadi meyakini bahwa pengusutan kasus penggelembungan suara itu belum menyentuh pihak-pihak yang turut bertanggung jawab.

Politikus yang juga Ketua DPRD Tuban ini meyakini bahwa kecurangan pemilu di dapil tiga itu tidak berdiri atas inisiatif anggota PPK sendiri.

Menurut Miyadi, hanya memercayai keterangan yang disampaikan anggota PPK adalah keputusan yang sangat dini. Bahwa tidak masuk akal ada seseorang melakukan perbuatan curang demi menguntungkan orang lain, tapi atas inisiatifnya sendiri.

Bahkan, Miyadi secara terang menyebut ada keterlibatan oknum kader Partai Nasdem dan komisioner KPUK Tuban.

Menurutnya, sangat tidak mungkin anggota PPK berani dan lancang atas inisiatifnya sendiri—merubah suara untuk partai, kecuali atas perintah dari jabatan yang lebih tinggi di atasnya atau atas perintah orang yang berkepentingan.

Pun demikian yang disampaikan Sekretaris Gerindra Tuban Lutfi Firmansyah. Menurutnya, berinisiatif memindahkan angka tanpa ada perintah dan mengakui atas inisiatif sendiri, itu merupakan pengakuan yang sangat janggal.

Dia meyakini bahwa keja hatan yang tersistem itu tidak berdiri sendiri.

Lantas, Siapa yang Benar dan Siapa yang Bohong?

Ibarat permainan bola, jurnalis hanya sebagai penonton. Hadir di tepi lapangan, menyaksikan pertandingan sejak peluit panjang babak pertama ditiup wasit.

Sebagai penonton, jurnalis hanya dapat menyaksikan proses pertandingan. Tidak ada hak untuk ikut main, menendang bola, mengumpan, apalagi mencetak gol.

Jurnalis hanya menonton dan mengamati permainan dari tribun.

Pun demikian peran seorang jurnalis dalam mengawal kasus penggelembungan suara untuk Partai Nasdem di dapil tiga.

Kendati secara instingtif mengetahui siapa saja yang terlibat dan berperan dalam praktik curang pemilu tersebut, namun seorang jurnalis tidak memiliki hak untuk menendang bola—memberikan justifikasinya—kendatipun secara instingtif hampir benar.

Selama tidak ada atau mendapat narasumber yang mengatakan bahwa pernyataan yang disampaikan oleh PPK (pelaku)—yang memberikan pengakuan kepada Bawaslu dan KPUK Tuban bahwa penggelembungan suara yang dilakukan atas inisiatif sendiri—bukan atas perintah oknum kader partai atau pejabat penyelenggara pemilu di atasannya adalah bohong, maka pernyataan tersebut tetap dianggap benar.

Sebab, kebohongan yang disampaikan oleh seseorang yang bersalah, adalah bagian dari hak ingkar.

Dan seorang jurnalis tetap diwajibkan untuk menulis apa yang disebut hak ingkar tersebut.

Itulah cara kerja wartawan, berada di tengah-tengah “perang” kebohongan dan kebenaran atas pihak-pihak yang berselisih.

Masing-masing memberikan data atau keterangan untuk kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing.

Yang bohong selalu berusaha memoles kebohongannya hingga menyerupai fakta. Pun demikian yang jujur, konsisten menghadirkan kejujurannya.

Namun, sering kali kebohongan yang didukung oleh sistem mengalahkan kebenaran yang berada di luar sistem.

Dan sekali lagi, jurnalis hanya sebagai pengamat di tepi lapangan. Selama wasit masih memegang kendali permainan, maka keputusan atau hasil akhir ada di tangan wasit.

Sekalipun dalam pertandingan itu dimenangkan oleh klub yang berlaku curang, dan kecurangan itu dibantu oleh wasit pula.

Dalam praktik korupsi, misalnya. Seseorang yang secara instingtif terbukti melakukan korupsi, tetap diberikan hak ingkar dari sejak pertama memberikan keterangan pers ke pada awak media hingga di meja hijau—di hadapan majelis hakim.

Selama belum ada putusan dari mejelis hakim, maka si koruptor tetap diberikan hak  untuk membantah perbuatannya, baik kepada awak media maupun hakim, meskipun toh membohongi dirinya sendiri.

Itulah yang disebut hak ingkar: kebohongan yang sah disampaikan oleh narasumber kepada awak media.

Menjawab pertanyaan di atas: Lantas, siapa yang benar dan siapa yang bohong? Tidak ada jawaban pasti dari jurnalis untuk pertanyaan tersebut.

Sebab, kebenaran yang menjadi produk jurnalistik selalu bergerak. Kebenaran itu seperti awan di antara langit dan bumi, yang terus menerus bergerak dan berubah bentuk sesuai persepsi masing-masing.

Ketika kebohongan masih belum bisa dibuktikan, maka selamanya menjadi hak ingkar.

Tapi percaya dan ingatlah! Tuhan memiliki hak untuk bertanya. Dan pertanyaan Tuhan tidak bisa dijawab menggunakan hak ingkar. (*)

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Tuban menyatakan bahwa pengusutan kasus penggelembungan suara di daerah pemilihan (dapil) 3 (Kecamatan Soko, Rengel, Semanding, dan Grabagan) sudah selesai.

Hasil sidang pelanggaran kode etik Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Tuban berdasar rekomendasi Bawaslu, menyatakan 14 anggota pemilihan kecamatan (PPK) terbukti melakukan penggelembungan suara untuk Partai Nasdem.

Dari 14 anggota yang terlibat, 11 anggota dikenai sanksi peringatan dan 3 anggota dijatuhi sanksi pemecatan.

Selama menjalani pemeriksaan, seluruh anggota PPK yang terlibat keukeuh bahwa praktik lancung dalam pemilu itu atas inisiatif sendiri.  Tidak ada yang memerintah.

Sungguh perbuatan culas yang sangat mulia demi membantu salah satu caleg agar lolos menjadi anggota DPRD.

- Advertisement -

Oleh Bawaslu, keterangan yang disampaikan oleh PPK tersebut di anggap final. Tapi tidak oleh Ketua DPC PKB Tuban Miyadi dan Sekretaris Gerindra Lutfi Firman syah.

Dalam pernyataannya (Jawa Pos Radar Tuban, Kamis, 7/3), Miyadi meyakini bahwa pengusutan kasus penggelembungan suara itu belum menyentuh pihak-pihak yang turut bertanggung jawab.

Politikus yang juga Ketua DPRD Tuban ini meyakini bahwa kecurangan pemilu di dapil tiga itu tidak berdiri atas inisiatif anggota PPK sendiri.

Menurut Miyadi, hanya memercayai keterangan yang disampaikan anggota PPK adalah keputusan yang sangat dini. Bahwa tidak masuk akal ada seseorang melakukan perbuatan curang demi menguntungkan orang lain, tapi atas inisiatifnya sendiri.

Bahkan, Miyadi secara terang menyebut ada keterlibatan oknum kader Partai Nasdem dan komisioner KPUK Tuban.

Menurutnya, sangat tidak mungkin anggota PPK berani dan lancang atas inisiatifnya sendiri—merubah suara untuk partai, kecuali atas perintah dari jabatan yang lebih tinggi di atasnya atau atas perintah orang yang berkepentingan.

Pun demikian yang disampaikan Sekretaris Gerindra Tuban Lutfi Firmansyah. Menurutnya, berinisiatif memindahkan angka tanpa ada perintah dan mengakui atas inisiatif sendiri, itu merupakan pengakuan yang sangat janggal.

Dia meyakini bahwa keja hatan yang tersistem itu tidak berdiri sendiri.

Lantas, Siapa yang Benar dan Siapa yang Bohong?

Ibarat permainan bola, jurnalis hanya sebagai penonton. Hadir di tepi lapangan, menyaksikan pertandingan sejak peluit panjang babak pertama ditiup wasit.

Sebagai penonton, jurnalis hanya dapat menyaksikan proses pertandingan. Tidak ada hak untuk ikut main, menendang bola, mengumpan, apalagi mencetak gol.

Jurnalis hanya menonton dan mengamati permainan dari tribun.

Pun demikian peran seorang jurnalis dalam mengawal kasus penggelembungan suara untuk Partai Nasdem di dapil tiga.

Kendati secara instingtif mengetahui siapa saja yang terlibat dan berperan dalam praktik curang pemilu tersebut, namun seorang jurnalis tidak memiliki hak untuk menendang bola—memberikan justifikasinya—kendatipun secara instingtif hampir benar.

Selama tidak ada atau mendapat narasumber yang mengatakan bahwa pernyataan yang disampaikan oleh PPK (pelaku)—yang memberikan pengakuan kepada Bawaslu dan KPUK Tuban bahwa penggelembungan suara yang dilakukan atas inisiatif sendiri—bukan atas perintah oknum kader partai atau pejabat penyelenggara pemilu di atasannya adalah bohong, maka pernyataan tersebut tetap dianggap benar.

Sebab, kebohongan yang disampaikan oleh seseorang yang bersalah, adalah bagian dari hak ingkar.

Dan seorang jurnalis tetap diwajibkan untuk menulis apa yang disebut hak ingkar tersebut.

Itulah cara kerja wartawan, berada di tengah-tengah “perang” kebohongan dan kebenaran atas pihak-pihak yang berselisih.

Masing-masing memberikan data atau keterangan untuk kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing.

Yang bohong selalu berusaha memoles kebohongannya hingga menyerupai fakta. Pun demikian yang jujur, konsisten menghadirkan kejujurannya.

Namun, sering kali kebohongan yang didukung oleh sistem mengalahkan kebenaran yang berada di luar sistem.

Dan sekali lagi, jurnalis hanya sebagai pengamat di tepi lapangan. Selama wasit masih memegang kendali permainan, maka keputusan atau hasil akhir ada di tangan wasit.

Sekalipun dalam pertandingan itu dimenangkan oleh klub yang berlaku curang, dan kecurangan itu dibantu oleh wasit pula.

Dalam praktik korupsi, misalnya. Seseorang yang secara instingtif terbukti melakukan korupsi, tetap diberikan hak ingkar dari sejak pertama memberikan keterangan pers ke pada awak media hingga di meja hijau—di hadapan majelis hakim.

Selama belum ada putusan dari mejelis hakim, maka si koruptor tetap diberikan hak  untuk membantah perbuatannya, baik kepada awak media maupun hakim, meskipun toh membohongi dirinya sendiri.

Itulah yang disebut hak ingkar: kebohongan yang sah disampaikan oleh narasumber kepada awak media.

Menjawab pertanyaan di atas: Lantas, siapa yang benar dan siapa yang bohong? Tidak ada jawaban pasti dari jurnalis untuk pertanyaan tersebut.

Sebab, kebenaran yang menjadi produk jurnalistik selalu bergerak. Kebenaran itu seperti awan di antara langit dan bumi, yang terus menerus bergerak dan berubah bentuk sesuai persepsi masing-masing.

Ketika kebohongan masih belum bisa dibuktikan, maka selamanya menjadi hak ingkar.

Tapi percaya dan ingatlah! Tuhan memiliki hak untuk bertanya. Dan pertanyaan Tuhan tidak bisa dijawab menggunakan hak ingkar. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img