spot_img
spot_img

IKN: Wajah Baru Kesenjangan ala The Capitol

spot_img

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kalimat ini sudah tidak asing kita dengar. Namun, implementasinya masih terasa asing hingga saat ini.

Pemerataan, kata yang sering digaungkan untuk menopang alasan dibangunnya proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) ini akan menjadi angan-angan semata dalam memenuhi hajat orang banyak.

Alih-alih meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, proyek ini  tampaknya hanya akan memberi keuntungan bagi golongan tertentu.

Proyek yang akan menggantikan Ibu Kota Jakarta yang luasnya empat kali lipat dari Jakarta, itu hanya akan ditinggali 2 juta penduduk saja.

Menurut Kepala Otorita IKN, Bambang Susantono dalam Seminar Masa Depan Pasca IKN yang digelar Pemprov DKI Jakarta pada Minggu (18/2), menyatakan bahwa pembatasan penduduk yang dilakukan di IKN guna untuk menciptakan IKN sebagai kota layak huni dengan mencontohkan Finlandia, yang merupakan negara dengan penduduk paling bahagia sedunia.

Selain itu, agar beban kota dan jumlah populasi tidak melebihi kapasitas, seperti yang telah terjadi di kota-kota besar di Indonesia.

Rancangan pembatasan populasi tersebut hanya akan menyelesaikan satu masalah saja, dan akan menimbulkan masalah-masalah baru pada berjalannya waktu nanti.

Pembatasan populasi yang akan menciptakan hunian eksklusif untuk para elit, telah menciptakan bayangan di benak, sebagaimana yang digambarkan dalam trilogi The Hunger Games, dengan keberadaan The Capitol.

The Capitol, merupakan kota metropolitan berteknologi maju yang menjadi tempat tinggal warga paling kaya dan berkuasa di Panem, dan kota tersebut memerintah tiga belas distrik.

Dalam kisahnya, masyarakat yang tinggal di The Capitol memiliki pekerjaan dengan pendapatan yang tinggi, mulai dari dokter hingga perancang busana.

Berbicara soal keterkaitan antara IKN dan The Capitol, dua hal tersebut memiliki keterkaitan atau kesamaan dalam implikasi kesenjangan sosial dan ekonomi antara IKN dan The Capitol.

The Capitol menjadi simbol dari kesenjangan atau ketimpangan yang bisa saja terjadi di IKN kemudian waktu.

Di balik kilauan hunian eksklusif dan janji pemerataan, pembangunan IKN meninmbulkan pertanyaan serius akan kemungkinan kesenjangan, atau kesemerawutan sosial dan ekonomi yang meluas karena adanya batasan populasi yang menghuni IKN.

Salah satu gambaran konkret dari adanya potensi tersebut, yakni fenomena pemindahan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia.

Pemindahan yang mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi selama masa pembangunan pada 1956 -1960 itu menciptakan masalah-masalah kesenjangan baru akibat ambisi percepatan pembangunan pemerintah Brazil.

Munculnya pemukiman kumuh yang mengelilingi pinggiran Brazilia, hilangnya ruang-ruang sosial, dan pemerataan ekonomi yang tidak mengalami perubahan signifikan menjadi masalah utama kesenjangan yang dialami Brazil pasca pemindahan ibu kota.

Hal tersebut sangat mungkin terjadi di IKN pada kemudian hari. Batasan penduduk atau populasi di IKN-lah yang menjadi alasan kuat munculnya kesenjangan-kesenjangan tersebut.

Bagaimana tidak, dalam satu rumah tangga tidak melepas kemungkinan untuk mempekerjakan seseorang dalam mengerjakan tugas rumah, dan tidak menutup kemungkinan pula akan muncul kehidupan atau tempat tinggal ilegal di sekitar IKN dengan dalih keluarga dari pekerja tersebut.

Dalam rancangan pembangunannya IKN menjanjikan potensi dampak positif bagi Indonesia dalam hal pembangunan infrastruktur modern, dan merupakan milestone Indonesia Maju 2045 yang ditopang dengan pembangunan Indonesia sentris, yang mendukung terciptanya pertumbuhan inklusif.

Namun, semua itu merupakan hunian eksklusif yang diciptakan dari pundi-pundi rupiah 12 juta sekian masyarakat Indonesia pembayar pajak.

Kesenjangan yang telah menjadi masalah sejak Indonesia merdeka ini belum dapat diselesaikan secara bijak dengan pemerataan, dan hal ini akan ditambah kapasitas kesenjangannya lagi oleh pembuat kebijakan itu sendiri.

Terbatasnya ruang diskusi telah menghasilkan banyaknya hal abu-abu terkait IKN, menimbulkan pertanyaan tentang transparansi, partisipasi publik, dan pemahaman yang jelas tentang rencana pembangunan.

Kesenjangan yang dialami bangsa ini susah untuk dientaskan jika pembuat kebijakan tidak melibatkan keikutsertaan publik.

Pemerataan yang saat ini digaungkan akankah hanya akan menjadi angan-angan saja ataukah benar-benar akan terwujud dalam realitas bangsa ini.

Dan satu hal, bagaimana dengan selain 2 juta orang tersebut, apakah memiliki kesempatan untuk menikmati hal yang sama? (*)

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kalimat ini sudah tidak asing kita dengar. Namun, implementasinya masih terasa asing hingga saat ini.

Pemerataan, kata yang sering digaungkan untuk menopang alasan dibangunnya proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) ini akan menjadi angan-angan semata dalam memenuhi hajat orang banyak.

Alih-alih meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, proyek ini  tampaknya hanya akan memberi keuntungan bagi golongan tertentu.

Proyek yang akan menggantikan Ibu Kota Jakarta yang luasnya empat kali lipat dari Jakarta, itu hanya akan ditinggali 2 juta penduduk saja.

Menurut Kepala Otorita IKN, Bambang Susantono dalam Seminar Masa Depan Pasca IKN yang digelar Pemprov DKI Jakarta pada Minggu (18/2), menyatakan bahwa pembatasan penduduk yang dilakukan di IKN guna untuk menciptakan IKN sebagai kota layak huni dengan mencontohkan Finlandia, yang merupakan negara dengan penduduk paling bahagia sedunia.

- Advertisement -

Selain itu, agar beban kota dan jumlah populasi tidak melebihi kapasitas, seperti yang telah terjadi di kota-kota besar di Indonesia.

Rancangan pembatasan populasi tersebut hanya akan menyelesaikan satu masalah saja, dan akan menimbulkan masalah-masalah baru pada berjalannya waktu nanti.

Pembatasan populasi yang akan menciptakan hunian eksklusif untuk para elit, telah menciptakan bayangan di benak, sebagaimana yang digambarkan dalam trilogi The Hunger Games, dengan keberadaan The Capitol.

The Capitol, merupakan kota metropolitan berteknologi maju yang menjadi tempat tinggal warga paling kaya dan berkuasa di Panem, dan kota tersebut memerintah tiga belas distrik.

Dalam kisahnya, masyarakat yang tinggal di The Capitol memiliki pekerjaan dengan pendapatan yang tinggi, mulai dari dokter hingga perancang busana.

Berbicara soal keterkaitan antara IKN dan The Capitol, dua hal tersebut memiliki keterkaitan atau kesamaan dalam implikasi kesenjangan sosial dan ekonomi antara IKN dan The Capitol.

The Capitol menjadi simbol dari kesenjangan atau ketimpangan yang bisa saja terjadi di IKN kemudian waktu.

Di balik kilauan hunian eksklusif dan janji pemerataan, pembangunan IKN meninmbulkan pertanyaan serius akan kemungkinan kesenjangan, atau kesemerawutan sosial dan ekonomi yang meluas karena adanya batasan populasi yang menghuni IKN.

Salah satu gambaran konkret dari adanya potensi tersebut, yakni fenomena pemindahan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia.

Pemindahan yang mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi selama masa pembangunan pada 1956 -1960 itu menciptakan masalah-masalah kesenjangan baru akibat ambisi percepatan pembangunan pemerintah Brazil.

Munculnya pemukiman kumuh yang mengelilingi pinggiran Brazilia, hilangnya ruang-ruang sosial, dan pemerataan ekonomi yang tidak mengalami perubahan signifikan menjadi masalah utama kesenjangan yang dialami Brazil pasca pemindahan ibu kota.

Hal tersebut sangat mungkin terjadi di IKN pada kemudian hari. Batasan penduduk atau populasi di IKN-lah yang menjadi alasan kuat munculnya kesenjangan-kesenjangan tersebut.

Bagaimana tidak, dalam satu rumah tangga tidak melepas kemungkinan untuk mempekerjakan seseorang dalam mengerjakan tugas rumah, dan tidak menutup kemungkinan pula akan muncul kehidupan atau tempat tinggal ilegal di sekitar IKN dengan dalih keluarga dari pekerja tersebut.

Dalam rancangan pembangunannya IKN menjanjikan potensi dampak positif bagi Indonesia dalam hal pembangunan infrastruktur modern, dan merupakan milestone Indonesia Maju 2045 yang ditopang dengan pembangunan Indonesia sentris, yang mendukung terciptanya pertumbuhan inklusif.

Namun, semua itu merupakan hunian eksklusif yang diciptakan dari pundi-pundi rupiah 12 juta sekian masyarakat Indonesia pembayar pajak.

Kesenjangan yang telah menjadi masalah sejak Indonesia merdeka ini belum dapat diselesaikan secara bijak dengan pemerataan, dan hal ini akan ditambah kapasitas kesenjangannya lagi oleh pembuat kebijakan itu sendiri.

Terbatasnya ruang diskusi telah menghasilkan banyaknya hal abu-abu terkait IKN, menimbulkan pertanyaan tentang transparansi, partisipasi publik, dan pemahaman yang jelas tentang rencana pembangunan.

Kesenjangan yang dialami bangsa ini susah untuk dientaskan jika pembuat kebijakan tidak melibatkan keikutsertaan publik.

Pemerataan yang saat ini digaungkan akankah hanya akan menjadi angan-angan saja ataukah benar-benar akan terwujud dalam realitas bangsa ini.

Dan satu hal, bagaimana dengan selain 2 juta orang tersebut, apakah memiliki kesempatan untuk menikmati hal yang sama? (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img