spot_img
spot_img

Hilangnya Asas Kerahasiaan

spot_img

TUBAN – Pemungutan suara Pemilu 2024 telah selesai dilangsungkan. Secara umum, pesta demokrasi lima tahunan ini berjalan lancar.

Berdasar quick count dari sejumlah lembaga survei, hasilnya pun hampir sudah bisa dipastikan.

Ahmad Atho'illahPerbedaan pandangan dan pilihan adalah hal biasa.

Namun, ada beberapa hal yang patut kita refleksikan bersama.

Dan, satu di antara hal itu, yakni hilangnya asas kerahasiaan dalam pemilu.

Tidak semua memang, tapi jamak.

Saat kecil dulu, saya masih ingat betul—asas kerahasiaan pilihan itu dijunjung tinggi.

Pernah suatu ketika saya tanya pada bapak, “Bapak pilih sinten?” Bapak tidak memberikan jawaban apa pun.

Yang beliau sampaikan, bahwa saya belum cukup umur untuk mengetahui pilihan orang dewasa.

Sebagai anak kecil, saya hanya berpikir bahwa pilihan dalam pemilu adalah urusan orang dewasa.

Namun, kerahasiaan pilihan, itu ternyata tidak hanya berlaku untuk saya.

Kepada tetangga, masing-masing juga merahasiakan pilihan.

Dalam benak, saya bergumam, apa pentingnya merahasiakan pilihan.

Menginjak dewasa, dan seiring perkembangan teknologi yang terlampau cepat, akhirnya saya mulai paham—tentang makna asas kerahasiaan tersebut.

Dulu, seingat saya, tidak ada kerabat, tetangga, atau teman yang berselisih karena beda pilihan dalam pemilu.

Setelah mencoblos di TPS, pulang, dan ketika di rumah sudah seperti biasa lagi. Tidak  pernah ada masalah dengan teman, tetangga, apalagi kerabat.

Masing-masing menganggap bahwa perbedaan pilihan adalah asas kerahasiaan.

Uniknya, asas kerahasiaan itu masih dipegang teguh oleh generasi old hingga sekarang.

Rabu (14/2), ketika saya pulang dan menunaikan hak pilih, saya kembali iseng bertanya,

“Bapak pilih sinten?” Lagi-lagi tidak dijawab. Beliau hanya senyum.

Kuatnya prinsip generasi tua dalam memegang teguh asas kerahasiaan ini sangat kontradiktif—berbanding terbalik 360 derajat dengan generasi muda saat ini.

Asas kerahasiaan yang menjadi bagian dari akronim Pemilu Luber-Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil), itu telah luruh. Hilang tinggal kata-kata.

Mereka yang rata-rata paham aturan dan berpendidikan tinggi, bahkan bergelar pascasarjana hingga para elit pejabat, ternyata tidak cukup memiliki prinsip menjaga asas kerahasiaan.

Atas klaim kebebasan berpendapat, di grup-grup WA dan platform media sosial, mereka teramat latah menunjukkan kerahasiaan kertas suara yang telah dicoblos di ruang  publik—media sosial.

Dan sialnya, asas kerahasiaan itu dipamerkan dengan sangat bangga.

Padahal, saya sangat yakin mereka paham aturan: Pasal 28 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa pemilih tidak boleh membubuhkan tulisan dan atau catatan apa pun dalam surat suara; dan tidak boleh mendokumentasikan hasil pencoblosan terhadap surat suara yang dilakukan di bilik suara.

Lebih lanjut bunyi pasal 25 ayat 1 huruf e, terdapat sanksi jika pemilih mendokumentasikan pilihannya di bilik suara.

Lantas, apa yang membuat generasi sekarang begitu latah mengumbar asas kerahasiaan pilihan di ruang-ruang publik dan media sosial?

Tidak lain, jawabannya adalah “ingin diakui”—“bahwa aku sudah mendukung dirimu, maka jangan lupakan aku.” Peffttttt

Pada taraf yang lebih kasar, kelatahan itu dijadikan bukti transaksi politik. “Laporan” kepada si pemberi.

Padahal, kelatahan adalah awal perbedaan pilihan menjadi friksi. Satu sama lain bisa saling membenci, saling merendahkan, hingga mengakibatkan retaknya hubungan persaudaraan.

Pada skala yang lebih luas, hilangnya asas kerahasiaan ini membuat ruang-ruang publik menjadi gaduh dan penuh dengan umpatan yang sangat tidak mendidik.

Bahkan, kadang kala menjadi arena perkelahian secara fisik antarkelompok pendukung calon.

Di sisi lain, hilangnya asas kerahasiaan ini juga memudahkan penguasa mengenali setiap personal dan kelompok yang tidak sejalan dengan pilihan penguasa. Dan kita
belajar dari setiap pemilu.

Benar bahwa demokrasi memberikan ruang secara terbuka kepada setiap orang untuk berbicara—mengutarakan pendapatnya.

Namun, kebebasan itu tidak berlaku pada prinsip dan asas.

Akhirnya kita sadar, kedewasaan kita dalam menjaga prinsip asas kerahasiaan pemilu jauh di bawah standar generasi old kita. (*)

TUBAN – Pemungutan suara Pemilu 2024 telah selesai dilangsungkan. Secara umum, pesta demokrasi lima tahunan ini berjalan lancar.

Berdasar quick count dari sejumlah lembaga survei, hasilnya pun hampir sudah bisa dipastikan.

Ahmad Atho'illahPerbedaan pandangan dan pilihan adalah hal biasa.

Namun, ada beberapa hal yang patut kita refleksikan bersama.

Dan, satu di antara hal itu, yakni hilangnya asas kerahasiaan dalam pemilu.

- Advertisement -

Tidak semua memang, tapi jamak.

Saat kecil dulu, saya masih ingat betul—asas kerahasiaan pilihan itu dijunjung tinggi.

Pernah suatu ketika saya tanya pada bapak, “Bapak pilih sinten?” Bapak tidak memberikan jawaban apa pun.

Yang beliau sampaikan, bahwa saya belum cukup umur untuk mengetahui pilihan orang dewasa.

Sebagai anak kecil, saya hanya berpikir bahwa pilihan dalam pemilu adalah urusan orang dewasa.

Namun, kerahasiaan pilihan, itu ternyata tidak hanya berlaku untuk saya.

Kepada tetangga, masing-masing juga merahasiakan pilihan.

Dalam benak, saya bergumam, apa pentingnya merahasiakan pilihan.

Menginjak dewasa, dan seiring perkembangan teknologi yang terlampau cepat, akhirnya saya mulai paham—tentang makna asas kerahasiaan tersebut.

Dulu, seingat saya, tidak ada kerabat, tetangga, atau teman yang berselisih karena beda pilihan dalam pemilu.

Setelah mencoblos di TPS, pulang, dan ketika di rumah sudah seperti biasa lagi. Tidak  pernah ada masalah dengan teman, tetangga, apalagi kerabat.

Masing-masing menganggap bahwa perbedaan pilihan adalah asas kerahasiaan.

Uniknya, asas kerahasiaan itu masih dipegang teguh oleh generasi old hingga sekarang.

Rabu (14/2), ketika saya pulang dan menunaikan hak pilih, saya kembali iseng bertanya,

“Bapak pilih sinten?” Lagi-lagi tidak dijawab. Beliau hanya senyum.

Kuatnya prinsip generasi tua dalam memegang teguh asas kerahasiaan ini sangat kontradiktif—berbanding terbalik 360 derajat dengan generasi muda saat ini.

Asas kerahasiaan yang menjadi bagian dari akronim Pemilu Luber-Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil), itu telah luruh. Hilang tinggal kata-kata.

Mereka yang rata-rata paham aturan dan berpendidikan tinggi, bahkan bergelar pascasarjana hingga para elit pejabat, ternyata tidak cukup memiliki prinsip menjaga asas kerahasiaan.

Atas klaim kebebasan berpendapat, di grup-grup WA dan platform media sosial, mereka teramat latah menunjukkan kerahasiaan kertas suara yang telah dicoblos di ruang  publik—media sosial.

Dan sialnya, asas kerahasiaan itu dipamerkan dengan sangat bangga.

Padahal, saya sangat yakin mereka paham aturan: Pasal 28 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa pemilih tidak boleh membubuhkan tulisan dan atau catatan apa pun dalam surat suara; dan tidak boleh mendokumentasikan hasil pencoblosan terhadap surat suara yang dilakukan di bilik suara.

Lebih lanjut bunyi pasal 25 ayat 1 huruf e, terdapat sanksi jika pemilih mendokumentasikan pilihannya di bilik suara.

Lantas, apa yang membuat generasi sekarang begitu latah mengumbar asas kerahasiaan pilihan di ruang-ruang publik dan media sosial?

Tidak lain, jawabannya adalah “ingin diakui”—“bahwa aku sudah mendukung dirimu, maka jangan lupakan aku.” Peffttttt

Pada taraf yang lebih kasar, kelatahan itu dijadikan bukti transaksi politik. “Laporan” kepada si pemberi.

Padahal, kelatahan adalah awal perbedaan pilihan menjadi friksi. Satu sama lain bisa saling membenci, saling merendahkan, hingga mengakibatkan retaknya hubungan persaudaraan.

Pada skala yang lebih luas, hilangnya asas kerahasiaan ini membuat ruang-ruang publik menjadi gaduh dan penuh dengan umpatan yang sangat tidak mendidik.

Bahkan, kadang kala menjadi arena perkelahian secara fisik antarkelompok pendukung calon.

Di sisi lain, hilangnya asas kerahasiaan ini juga memudahkan penguasa mengenali setiap personal dan kelompok yang tidak sejalan dengan pilihan penguasa. Dan kita
belajar dari setiap pemilu.

Benar bahwa demokrasi memberikan ruang secara terbuka kepada setiap orang untuk berbicara—mengutarakan pendapatnya.

Namun, kebebasan itu tidak berlaku pada prinsip dan asas.

Akhirnya kita sadar, kedewasaan kita dalam menjaga prinsip asas kerahasiaan pemilu jauh di bawah standar generasi old kita. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

Seperti Perangkat

Yang Sadar akan Gelisah

Hak Pilih dan Prinsip yang Tak Ternilai

spot_img