spot_img
spot_img

Belajar Ikhlas

spot_img

Oleh: Ahmad Athoi’illah *)

Tidak ada jabatan di dunia ini yang patut dipertahankan matimatian. Jabatan adalah amanah. Tidak perlu kamu sesali. Belajarlah ikhlas, Nak. Berat memang, tapi itu harus dilatih.

———————————————

PAGI itu tidak seperti biasanya. Jamal merasa tidak tenang. Matahari yang terbit dari
ufuk timur serasa mendung menghitam. Pagi yang indah seakan tak lagi melempar cahaya. Persis mewakili perasaannya yang sedang bimbang. Jabatan di pemerintahan
yang telah lama digenggam melayang. Digantikan oleh pejabat lain yang dulu bawahannya.

Wajah Jamal tampak layu, seperti tumbuhan yang tidak memiliki harapan. Yang biasanya bergairah, kini seperti tidak memiliki arah. Jam dinding yang
saban pagi menjadi penanda berangkat kerja, tak lagi dilihatnya. Tanpa ia sadari
ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.00.

Harusnya, sepagi itu Jamal sudah berangkat kerja. Namun, masih saja tubuhnya terasa berat beranjak dari tempat duduknya yang nyaman. Dalam suasana perasaan yang
tidak tenang itu, Jamal tidak tahu harus berbuat apa. Otaknya tidak bisa berpikir jernih. Yang ada di pikirannya hanya masalah hidup terasa berat.

Apalagi, ketika memandang istri dan anaknya yang masih kecil-kecil dan mobil mewah
yang baru saja dibelinya secara kredit. Sebagai kepala keluarga, tubuhnya terasa ringkih—seperti tertindih beban yang sangat berat.

“Bapak sekarang sudah tidak lagi menjadi pimpinan instansi. Bapak sekarang sudah turun jabatan. Tak ada lagi gaji yang tinggi dan tunjangan yang berlebih.” Kata-kata itu meluncur pelan dari mulut Jamal dengan nada lirih. Ada beban yang sepertinya menekan hidupnya—istri, anak-anak yang masih kecil, dan cicilan mobil.

Mendadak, jabatan yang selama ini diembannya terasa begitu berharga dalam hidupnya. Maklum, semenjak memiliki jabatan sebagai pimpinan di salah satu instansi,
gaya hidupnya berubah total. Sering jalan-jalan, makan di restoran, membeli banyak pakaian, hingga barang-barang mewah yang tidak penting. Termasuk mobil mewah
yang baru saja dibelinya dua bulan terakhir—sebelum jabatannya sebagai pimpinan instansi itu hilang.

Kini, setelah didemosi—diturunkan jabatannya, Jamal hanya sebagai kepala seksi. Jika dihitunghitung, gajinya saat ini setengah tunjangannya sebagai pimpinan instansi waktu itu.

“Terus bagaimana ini, Pak. Anak kita masih kecil-kecil dan mobil juga belum lunas,” ujar sang istri.

Nadanya seperti mengeluh dengan keadaannya saat ini. Bayangan hidup yang indah-indah sebagai seorang istri pimpinan instansi sepertinya luruh bersama embun pagi ketika terpapar sinar matahari pagi. Menetes ditelan tanah seperti jabatan sang suami yang terdemosi.

Ketika pasangan suami istri itu sedang membicarakan nasibnya, ketiga anaknya yang masih kecil kecil tampak asyik bermain. Ditatapnya tingkah polah ketiga
buah hatinya dengan tatapan yang kosong.

“Kenapa seperti ini, Yah?” Kata-kata dari istrinya itu seperti bertanya. Namun, tak ada jawaban yang keluar dari bibir Jamal.

Sebaliknya, dia hanya bisa terdiam dengan guratan wajah tampak semakin sedih.

Dalam benaknya, Jamal tidak menyangka jabatannya akan hilang begitu saja. Namun, sesungguhnya dia sadar bahwa jabatan yang diterimanya tidak berangkat dari prestasi, melainkan politik balas budi dari pimpinan tertinggi.

Maklum, dulu dirinya turut memenangkan pemilihan dalam palagan demokrasi. Sedangkan saat ini kisahnya lain. Pimpinan tertinggi sudah berganti. Bukan yang dulu lagi.

“Mau bagaimana lagi, pimpinan sudah ganti. Bapak sudah tidak dipertahankan lagi,” katanya menjawab pertanyaan istri.
***
Dulu, Jamal dan istri hidup sederhana. Dia hanyalah anak seorang petani di desa. Hingga akhirnya mencari peruntungan di kota, lalu ikut seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Mungkin berkat doa dari kedua orang tuanya, Jamal dinyatakan lolos dan diterima menjadi PNS. Dia mendapat penempatan di daerah ujung perbatasan. Menjadi staf.

Mungkin berkat doa kedua orang tuanya juga, karir Jamal meranjak mulus. Setelah di posisi staf, dua tahun berikutnya diangkat menjadi kepala seksi, kemudian tiga tahun
selanjutnya diangkat menjadi kepala bidang, dua tahun berikutnya menjadi sekretaris, dan dua tahun berikutnya lagi—setelah pimpinan tertinggi dilantik, dia diangkat sebagai pimpinan instansi. Inilah jabatan tertinggi selama karirnya.

Pernah pula dia membayangkan mendapat jabatan tertinggi lagi—menjadi pejabat unsur pembantu pimpinan tertinggi daerah, sekretaris kota kabupaten. Namun, sebelum angannya tercapai, demosi sudah menghampiri. Sekarang turun jabatan menjadi kepala seksi lagi.

“Apa kita jual lagi mobil ini. Kita kembali hidup sederhana lagi, Yah,” kata sang istri memberikan opsi kepada suami setelah rezekinya dihitung kasat mata.

“Jangan. Malu sama tetangga dan teman-teman Ayah,” sergah Jamal tidak ingin mengambil keputusan tergesa-gesa.

Disaat kondisinya sedang susah, Jamal tiba-tiba teringat kedua orang tuanya di nun jauh sana. Ingin rasanya pulang ke desa–menyambangi kedua orang tuanya.
Dia sadar sudah lama tidak pulang. Maklum, saat menjadi pimpinan instansi, dirinya sangat sibuk dengan urusan pemerintahan.

Lebih tepatnya tidak bisa mengatur waktu. Sebab, orang yang sibuk adalah orang yang pandai mengatur waktu. Sehingga, jika ada orang yang sibuk, tapi tidak bisa mengatur
waktu—bertemu orang tua, sesungguhnya dia hanya merasa sibuk. Bukan sibuk pada makna yang sesungguhnya.

“Gimana kalau sekarang kita pulang ke desa, mumpung Ayah tidak masuk kerja.” Jamal mengajak istrinya pulang ke desa.

“Ibuk setuju, kita sudah lama tidak nyambangi Bapak dan Ibu.” Sang istri mengiyakan ajakan suami.
***
Pagi beranjak siang. Jamal dan istri, beserta ketiga buah hatinya pulang ke desa. Tiga jam perjalanan, sampailah keluarga kecil ini di sebuah desa–tempat tinggal orang
tuanya.

Meski usianya sudah 70 tahun lebih, kedua orang tua Jamal masih tampak sehat. Wajahnya juga terlihat segar. Tidak seperti orang yang sudah tua pada umumnya.

Jangankan dibanding dengan orang tua pada umumnya. Dibanding wajah anaknya, pun tampak lebih segar. Seakan ada cahaya yang berseri dari wajah kedua orang tua
Jamal. Juga sangat tenang dalam merespon setiap masalah hidup.

“Ibu dan Bapak sebenarnya sudah tahu kalau kalian ada masalah. Apa yang dirasakan anak juga dirasakan orang tua.” Kata-kata seorang ibu itu seakan memeram hati Jamal
dan istri yang sudah lama tidak menyambangi orang tua.

“Ada masalah apa? Kok tiba-tiba kamu pulang menemui Bapak dan Ibu.” Tanya seorang ibu kepada anaknya sembari memangku cucunya yang paling kecil.

“Ibu, maafkan Jamal, sudah lama tidak pulang menemui Ibu,” ujar Jamal dengan nada
penuh penyesalan.

“Mas Jamal sekarang sudah tidak lagi menjadi pimpinan instansi, Bu. Mas Jamal sudah
dicopot dari jabatannya,” sang istri menambahkan.

Kedua orang tua Jamal hanya tersenyum. Tergurat wajah yang selalu menampakkan
aura ikhlas.

“Terus kamu sedih karena kehilangan jabatan?,” ujar sang ibu kepada Jamal dengan nada menasehati.

“Saya dan Bapakmu sebenarnya turut sedih, tapi Ibuk dan Bapakmu sudah lama
belajar ikhlas,” tutur ibu kepada anak laki-lakinya yang lama terbuai jabatan.

“Tidak ada jabatan di dunia ini yang patut dipertahankan matimatian. Jabatan adalah amanah. Tidak perlu kamu sesali. Belajarlah ikhlas, Nak. Berat memang, tapi itu
harus dilatih. Semua yang kita miliki hanyalah titipan Allah subhanahu wa taala. Termasuk nyawa yang kita kandung ini, juga hanyalah titipan. Kamu merasa susah, sedih, dan kecewa, itu karena kamu sudah lupa dengan ikhlas. Kamu sudah terbuai
jabatan yang seakan segala-galanya.
Di mana pun kamu berada harus bisa memberikan manfaat. Apa pun posisi jabatanmu, lakukan pekerjaanmu dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab, niscaya kamu akan menemukan kebahagiaan. Sekali lagi, kesusahan, kekecewaan, dan rasa marah, itu
muncul karena kamu tidak memiliki rasa ikhlas,” tutur seorang ibu menasihati anaknya yang sudah lama lupa dengan ikhlas.

Mendengar nasihat perempuan yang melahirkannya tersebut, seluruh air mata Jamal luruh—tumpah di pangkuan kedua orang tuanya. (*)

*) Tinggal dan mukim di Perumahan Gedongombo. Istri dan anak adalah sumber  inspirasi.

 

Oleh: Ahmad Athoi’illah *)

Tidak ada jabatan di dunia ini yang patut dipertahankan matimatian. Jabatan adalah amanah. Tidak perlu kamu sesali. Belajarlah ikhlas, Nak. Berat memang, tapi itu harus dilatih.

———————————————

PAGI itu tidak seperti biasanya. Jamal merasa tidak tenang. Matahari yang terbit dari
ufuk timur serasa mendung menghitam. Pagi yang indah seakan tak lagi melempar cahaya. Persis mewakili perasaannya yang sedang bimbang. Jabatan di pemerintahan
yang telah lama digenggam melayang. Digantikan oleh pejabat lain yang dulu bawahannya.

Wajah Jamal tampak layu, seperti tumbuhan yang tidak memiliki harapan. Yang biasanya bergairah, kini seperti tidak memiliki arah. Jam dinding yang
saban pagi menjadi penanda berangkat kerja, tak lagi dilihatnya. Tanpa ia sadari
ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.00.

- Advertisement -

Harusnya, sepagi itu Jamal sudah berangkat kerja. Namun, masih saja tubuhnya terasa berat beranjak dari tempat duduknya yang nyaman. Dalam suasana perasaan yang
tidak tenang itu, Jamal tidak tahu harus berbuat apa. Otaknya tidak bisa berpikir jernih. Yang ada di pikirannya hanya masalah hidup terasa berat.

Apalagi, ketika memandang istri dan anaknya yang masih kecil-kecil dan mobil mewah
yang baru saja dibelinya secara kredit. Sebagai kepala keluarga, tubuhnya terasa ringkih—seperti tertindih beban yang sangat berat.

“Bapak sekarang sudah tidak lagi menjadi pimpinan instansi. Bapak sekarang sudah turun jabatan. Tak ada lagi gaji yang tinggi dan tunjangan yang berlebih.” Kata-kata itu meluncur pelan dari mulut Jamal dengan nada lirih. Ada beban yang sepertinya menekan hidupnya—istri, anak-anak yang masih kecil, dan cicilan mobil.

Mendadak, jabatan yang selama ini diembannya terasa begitu berharga dalam hidupnya. Maklum, semenjak memiliki jabatan sebagai pimpinan di salah satu instansi,
gaya hidupnya berubah total. Sering jalan-jalan, makan di restoran, membeli banyak pakaian, hingga barang-barang mewah yang tidak penting. Termasuk mobil mewah
yang baru saja dibelinya dua bulan terakhir—sebelum jabatannya sebagai pimpinan instansi itu hilang.

Kini, setelah didemosi—diturunkan jabatannya, Jamal hanya sebagai kepala seksi. Jika dihitunghitung, gajinya saat ini setengah tunjangannya sebagai pimpinan instansi waktu itu.

“Terus bagaimana ini, Pak. Anak kita masih kecil-kecil dan mobil juga belum lunas,” ujar sang istri.

Nadanya seperti mengeluh dengan keadaannya saat ini. Bayangan hidup yang indah-indah sebagai seorang istri pimpinan instansi sepertinya luruh bersama embun pagi ketika terpapar sinar matahari pagi. Menetes ditelan tanah seperti jabatan sang suami yang terdemosi.

Ketika pasangan suami istri itu sedang membicarakan nasibnya, ketiga anaknya yang masih kecil kecil tampak asyik bermain. Ditatapnya tingkah polah ketiga
buah hatinya dengan tatapan yang kosong.

“Kenapa seperti ini, Yah?” Kata-kata dari istrinya itu seperti bertanya. Namun, tak ada jawaban yang keluar dari bibir Jamal.

Sebaliknya, dia hanya bisa terdiam dengan guratan wajah tampak semakin sedih.

Dalam benaknya, Jamal tidak menyangka jabatannya akan hilang begitu saja. Namun, sesungguhnya dia sadar bahwa jabatan yang diterimanya tidak berangkat dari prestasi, melainkan politik balas budi dari pimpinan tertinggi.

Maklum, dulu dirinya turut memenangkan pemilihan dalam palagan demokrasi. Sedangkan saat ini kisahnya lain. Pimpinan tertinggi sudah berganti. Bukan yang dulu lagi.

“Mau bagaimana lagi, pimpinan sudah ganti. Bapak sudah tidak dipertahankan lagi,” katanya menjawab pertanyaan istri.
***
Dulu, Jamal dan istri hidup sederhana. Dia hanyalah anak seorang petani di desa. Hingga akhirnya mencari peruntungan di kota, lalu ikut seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Mungkin berkat doa dari kedua orang tuanya, Jamal dinyatakan lolos dan diterima menjadi PNS. Dia mendapat penempatan di daerah ujung perbatasan. Menjadi staf.

Mungkin berkat doa kedua orang tuanya juga, karir Jamal meranjak mulus. Setelah di posisi staf, dua tahun berikutnya diangkat menjadi kepala seksi, kemudian tiga tahun
selanjutnya diangkat menjadi kepala bidang, dua tahun berikutnya menjadi sekretaris, dan dua tahun berikutnya lagi—setelah pimpinan tertinggi dilantik, dia diangkat sebagai pimpinan instansi. Inilah jabatan tertinggi selama karirnya.

Pernah pula dia membayangkan mendapat jabatan tertinggi lagi—menjadi pejabat unsur pembantu pimpinan tertinggi daerah, sekretaris kota kabupaten. Namun, sebelum angannya tercapai, demosi sudah menghampiri. Sekarang turun jabatan menjadi kepala seksi lagi.

“Apa kita jual lagi mobil ini. Kita kembali hidup sederhana lagi, Yah,” kata sang istri memberikan opsi kepada suami setelah rezekinya dihitung kasat mata.

“Jangan. Malu sama tetangga dan teman-teman Ayah,” sergah Jamal tidak ingin mengambil keputusan tergesa-gesa.

Disaat kondisinya sedang susah, Jamal tiba-tiba teringat kedua orang tuanya di nun jauh sana. Ingin rasanya pulang ke desa–menyambangi kedua orang tuanya.
Dia sadar sudah lama tidak pulang. Maklum, saat menjadi pimpinan instansi, dirinya sangat sibuk dengan urusan pemerintahan.

Lebih tepatnya tidak bisa mengatur waktu. Sebab, orang yang sibuk adalah orang yang pandai mengatur waktu. Sehingga, jika ada orang yang sibuk, tapi tidak bisa mengatur
waktu—bertemu orang tua, sesungguhnya dia hanya merasa sibuk. Bukan sibuk pada makna yang sesungguhnya.

“Gimana kalau sekarang kita pulang ke desa, mumpung Ayah tidak masuk kerja.” Jamal mengajak istrinya pulang ke desa.

“Ibuk setuju, kita sudah lama tidak nyambangi Bapak dan Ibu.” Sang istri mengiyakan ajakan suami.
***
Pagi beranjak siang. Jamal dan istri, beserta ketiga buah hatinya pulang ke desa. Tiga jam perjalanan, sampailah keluarga kecil ini di sebuah desa–tempat tinggal orang
tuanya.

Meski usianya sudah 70 tahun lebih, kedua orang tua Jamal masih tampak sehat. Wajahnya juga terlihat segar. Tidak seperti orang yang sudah tua pada umumnya.

Jangankan dibanding dengan orang tua pada umumnya. Dibanding wajah anaknya, pun tampak lebih segar. Seakan ada cahaya yang berseri dari wajah kedua orang tua
Jamal. Juga sangat tenang dalam merespon setiap masalah hidup.

“Ibu dan Bapak sebenarnya sudah tahu kalau kalian ada masalah. Apa yang dirasakan anak juga dirasakan orang tua.” Kata-kata seorang ibu itu seakan memeram hati Jamal
dan istri yang sudah lama tidak menyambangi orang tua.

“Ada masalah apa? Kok tiba-tiba kamu pulang menemui Bapak dan Ibu.” Tanya seorang ibu kepada anaknya sembari memangku cucunya yang paling kecil.

“Ibu, maafkan Jamal, sudah lama tidak pulang menemui Ibu,” ujar Jamal dengan nada
penuh penyesalan.

“Mas Jamal sekarang sudah tidak lagi menjadi pimpinan instansi, Bu. Mas Jamal sudah
dicopot dari jabatannya,” sang istri menambahkan.

Kedua orang tua Jamal hanya tersenyum. Tergurat wajah yang selalu menampakkan
aura ikhlas.

“Terus kamu sedih karena kehilangan jabatan?,” ujar sang ibu kepada Jamal dengan nada menasehati.

“Saya dan Bapakmu sebenarnya turut sedih, tapi Ibuk dan Bapakmu sudah lama
belajar ikhlas,” tutur ibu kepada anak laki-lakinya yang lama terbuai jabatan.

“Tidak ada jabatan di dunia ini yang patut dipertahankan matimatian. Jabatan adalah amanah. Tidak perlu kamu sesali. Belajarlah ikhlas, Nak. Berat memang, tapi itu
harus dilatih. Semua yang kita miliki hanyalah titipan Allah subhanahu wa taala. Termasuk nyawa yang kita kandung ini, juga hanyalah titipan. Kamu merasa susah, sedih, dan kecewa, itu karena kamu sudah lupa dengan ikhlas. Kamu sudah terbuai
jabatan yang seakan segala-galanya.
Di mana pun kamu berada harus bisa memberikan manfaat. Apa pun posisi jabatanmu, lakukan pekerjaanmu dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab, niscaya kamu akan menemukan kebahagiaan. Sekali lagi, kesusahan, kekecewaan, dan rasa marah, itu
muncul karena kamu tidak memiliki rasa ikhlas,” tutur seorang ibu menasihati anaknya yang sudah lama lupa dengan ikhlas.

Mendengar nasihat perempuan yang melahirkannya tersebut, seluruh air mata Jamal luruh—tumpah di pangkuan kedua orang tuanya. (*)

*) Tinggal dan mukim di Perumahan Gedongombo. Istri dan anak adalah sumber  inspirasi.

 

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img