spot_img
spot_img

Bareksa

spot_img

Oleh: Ahmad Tarno*

Aku menoleh ke belakang. Sosok Wedha berdiri anggun tidak jauh dari tempatku duduk. Rambutnya yang panjang dibiarkan terburai. Jatuh begitu indah di pundak. Tampak serasi dengan baju putih sederhana yang ia kenakan.

——————————————————-

CAHAYA kuning tampak sendu menghiasi sisi lautan. Sebuah tempat yang dulu hanya
perbatasan air asin dan daratan berpasir coklat, kini telah berubah menjadi sesuatu yang diminati banyak orang. Dinding bermotif indah di sana sini. Pagar pembatas membentang cukup luas. Loket di bagian depan, relief kejayaan masa silam yang
didesain sedemikian cantik dan pepohonan rindang menari-nari mengikuti arah angin—
membuat tempat ini hampir tidak aku kenali.

Setiap kali duduk di tepian sini, entah bagaimana sebuah rasa heran menggelayutiku begitu cepat. Pertama, tidakkah sulit dipercaya bahwa tempat ini dulu adalah pelabuhan besar bernama Kambang Putih? sejauh aku mengamati, paling tidak sampai
usiaku 27 tahun, jejak kebesaran itu sama sekali tidak terlihat. Kedua, kota kecil yang bahkan tidak banyak dikenal ini—siapa sangka menjadi saksi bisu sebuah kerajaan besar di masa silam.

Ketiga, Tuhan begitu baik mengirimiku seseorang untuk kukagumi dan kuajak bercengkrama dengan hangat: hanya jika aku duduk di sini. Maklum saja, seumur-umur aku tidak pernah memiliki seseorang yang kerap mereka sebut kekasih. Teman perempuan memang cukup banyak. Tetapi tidak ada satupun yang dapat membuat
hatiku terpikat seperti Wedha.

Dia lembut seperti kidung yang biasa aku dengar dari Ibu menjelang tidur. Manis seperti
gula aren yang dicampur Bapak ke dalam kopi setiap pagi. Wedha adalah satu-satunya perempuan yang bisa membuatku jatuh hati, tetapi ia mengatakan tidak bisa
tinggal bersamaku karena suatu hal. Di satu sisi, aku patah hati.

Apa Wedha tidak mencintaiku? Di sisi lain, aku bersyukur karena meski tak bisa tinggal—ia tetap bersedia menemaniku di sini dalam beberapa waktu. Kurasa benar kata bocah-bocah di depan loket tadi, aku penyendiri dan sedikit tidak mudah dipahami. Ucapku lirih. Kulihat wajah berseri Wedha di beriak air, ia tersenyum.

Apa kau terganggu dengan itu?
Apa sebutan itu membuatmu tidak nyaman? Aku menggelengkan kepala.
Ingin sekali mengatakan bahwa ucapan orang tak pernah menggangguku. Setiap kali
olokan-olokan itu mulai mengusik, aku akan segera berusaha mengingat bahwa
terlalu mengambil pusing pendapat orang adalah sebuah kesia-siaan. Sebaliknya, jika
Wedha pergi dan mengatakan sesuatu yang tidak baik tentangku, mungkin itu yang
akan membuatku menjadi sangat gusar dan tidak nyaman.

Apa kau hafal tembang Lingsir Wengi? Maukah kau menyanyikan itu untukku? Untuk apa? Wedha beralih memandangku dengan mata penuh selidik.

Kau tidak berkenan? atau tidak hafal? Ya sudahlah.
Demi mendengar jawabanku, tawa Wedha pecah, aku bahkan sudah hafal lagu itu sebelum almarhum pak Dhe Didi menyanyikannya, nada bicara Wedha mulai congkak seperti biasa, tapi aku menyukainya.

Setelah melalui keheningan yang tidak lama, beberapa syair Lingsir Wengi mulai memenuhi ruang dengar, bersandingan dengan suara ombak dan hembusan angin malam, terdengar lirih dan sedikit menyayat hati, sebagian syair itu mengingatkanku pada ibu, sebagian yang lain membuatku ingin tertidur.

“Sepi durung bisa nendro.” “Nandang bronto kadung loro sambat-sambat sopo.”
“Rino wengi sing tak puji ojo lali.” “Janjine ugo biso tak ugemi.”

Wedha berhenti. Setengah mengantuk aku melihatnya dengan tatapan seolah bertanya kenapa? Andai saja ia bernyanyi lebih lama, mungkin aku bisa terlelap di pinggir pantai ini.

Aku tidak bernyanyi untuk mengantarmu tidur, Wedha memasang muka masam.
Aku juga tidak berencana tidur, tetapi entah kenapa lagumu membuatku ingin tidur.

Wedha tidak menjawab. Sepertinya ia mendengus, tetapi karena ia menghadap utara
sementara aku di selatannya, aku jadi tidak bisa memastikan perkiraanku itu.

Sebelum meninggal, ibu selalu mengatakan bahwa menyanyikan lagu ini ketika suasana hati sedang buruk bisa membuatku menjadi tenang. Karena maknanya sangat dalam dan ia adalah gubahan Mbah Sunan.

Untuk itu, ibu selalu marah ketika para tetangga takut mendengar lagu ini—hanya karena ada film yang menggunakannya sebagai cara mengundang makhluk halus.
Ungkapku kepada Wedha sambil berusaha mengingat wajah ibu.

Karena tidak ada jawaban, kulirik Wedha sebentar. Ia masih hening, berlagak mengamati perahu di seberang lautan. Tapi ia tampak mendengarkan.

Wedha, dalam hal pengetahuan, aku kalah darimu. Kau bahkan hafal nama-nama penjaga tempat ini di jaman Majapahit dulu. Kau juga mengatakan bahwa kau pernah bertemu Syaikh Subakir dan Syaikh Jamaluddin ketika orang Mulia itu pertama kali mendarat di tempat ini.

Aku memercayaimu Wedha, karena kurasa kau seperti aku—yang juga sering
membayangkan bahwa aku bertemu Aristoteles dan Berandal Lokajaya lalu bercengkrama akrab bersama mereka.

Ucapanku membuat Wedha secara spontan melihat ke arahku. Alisnya mengkerut.
Kemudian ia tertawa lagi. Kali ini lebih lama, lalu mengajukan protes persis seperti dugaanku: tapi aku benar-benar bertemu mereka, tidak hanya membayangkan sepertimu!
***
Sudah beberapa hari aku tidak pergi ke tempat favoritku dan Wedha. Kata Wedha aku harus lebih berhemat. Jangan buang-buang uang untuk membeli tiket dan bayar parkir.

Aku mencoba berdalih bahwa membayar tiket dan parkir bisa membantu pemkab dan tukang parkir karena itu sumber pemasukan mereka. Wedha mengatakan itu bagus, tetapi terlalu sering tidak bagus.

Sebagai gantinya, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Kalau orang daerah sini, semua pasti akrab dengan nama Semanding. Tapi kalau orang luar, aku tidak yakin mereka tahu Semanding itu sejenis kata serapan atau nama sebuah kecamatan.

Memang, Semanding yang beberapa daerahnya bertanah merah dan jarang ada air ini bukan sesuatu yang mudah diingat. Lagipula selain pemandian Bektiharjo—yang hanya ramai di waktu tertentu—, Semanding tidak memiliki apa-apa lagi.

Dan di daerah seperti itulah aku dibesarkan. Dalam sebuah rumah sederhana yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan sedikit kayu di bagian depan. Aku membiarkannya seperti itu sampai saat ini karena rumah ini satu-satunya peninggalan ibu dan bapak. Hanya pelataran depan rumah yang sedikit aku rubah komposisi tanamannya.

Kalau dulu lebih sering ditanami cabai, kacang, dan jagung. Sekarang ada rangkaian pipa paralon dan tanaman-tanaman hidroponik, seperti bayam, kangkung, dan sawi.

Tetangga di sini sering mengataiku bujang lapuk. Mereka tidak lelah memberi
saran agar aku lekas menikah. Itu membuatku kesal juga kadangkadang.
Tetapi, itu adalah bentuk kepedulian mereka terhadapku yang sebatang kara. Jadi, aku
memakluminya. Keinginan mereka untuk segera melihatku hidup bahagia—paling tidak
hidup dengan seseorang yang bisa diajak berbagi sangat bisa kupahami.

Tetapi mau bagaimana lagi, Wedha tidak berkenan diajak ke arah sana. Beberapa tetangga juga pernah menawariku agar aku menikah dengan putri mereka, tetapi, ya,
tidak ada yang seperti Wedha. Itu membuat mereka tidak jarang bertanya tentang siapa Wedha, secantik apa dia sampai membuatku tidak bisa melihat ke arah lain dan membujang tidak jelas jeluntrungannya.

Jika sudah sangat lelah menjawab, aku selalu menanggapi mereka dengan senyuman lalu menyahut, doanya saja Buk. Doanya saja Pak. Didoakan berkali-kalipun kalau
kamu ga ada niat ya muspro Bar.
Aku selalu: hanya tersenyum. Aku mau membersihkan makam Mbah Dandang Wacono
dulu, itu samping-sampingnya sudah mulai kotor oleh dedaunan.

Dengan alasan itu aku bisa pamit undur diri dari pembahasan tentang pernikahan. Aku lantas menyibukkan diri dengan menyapu halaman pemakaman yang tidak begitu luas. Di tengah pekarangan ada sebuah aliran sungai yang airnya masih sangat jernih. Meski bukan sesuatu yang lazim di kecamatan sebelah, orang-orang di daerah sini masih suka mencuci atau mandi di sungai.

Makam Mbah Dandang Wacono tidak begitu banyak dijamah, jadi tidak sulit melihat
ia kotor dan berdebu—karena memang tidak ada petugas kebersihan khusus di sini.
Kecuali di hari tertentu seperti menjelang lebaran, biasanya bupati akan datang ke sini untuk melakukan sebuah ritual doa ala orang Islam. Kami menyebut itu
ziarah dan membaca sesuatu yang disebut tahlil: untuk mendoakan seseorang yang
telah berpulang.

Di luar bupati, jarang sekali ada orang yang datang ke pesarean adipati pertama tanah ini. Sepertinya memang tidak banyak yang tahu siapa itu Mbah Dandang Wacono, selain dirasa tidak begitu terkenal, tampaknya sesuatu seperti Mobile Legend dan Tiktok lebih menyenangkan untuk dikunjungi dan dilihat.

Akupun, jika memiliki telepon genggam canggih sepertinya juga akan senang bermain hal-hal kekinian seperti itu.
***
“Kagodho mring wewayang kang reridu ati.”
“Kawitane mung sembrono jur kulino.”
“Ra ngiro yen bakal nuwuhke trisno.”

Aku menghentikan ayunan sapuku. Suara itu, ibu atau Wedha? Ah! Tidak mungkin ibu,
Beliau sudah meninggal. Wedha? Aku menengok ke sekeliling. Tetapi tidak menemukan
siapapun.

Barangkali aku terlalu merindukan ibu dan Wedha. Batinku menghibur, lalu kembali
menyapu.

“Nanging duh tibake, aku dewe kang nemahi.”
“Nandang bronto, kadung loro, sambat-sambat sopo.”

Suara itu terdengar lagi. Meski tidak sepenuhnya, aku yakin Wedha ada di sekitar sini. Aku berdiam diri sejenak. Bukankah Wedha selalu datang ketika aku duduk tenang di dekat pantai?

Pantai. Air asin. Sungai. Air tawar. Siapa tahu akan sama. Akhirnya aku memutuskan
duduk di dekat sungai yang melewati pesarean Mbah Dandang. Memasukkan separo
kakiku di airnya yang tenang. Hening. Hanya suara angin. Hening. Hanya suara kendaraan lewat kadang-kadang.

Bareksa! Aku menoleh ke belakang. Sosok Wedha berdiri anggun tidak jauh dari tempatku duduk. Rambutnya yang panjang dibiarkan terburai. Jatuh begitu indah di pundak. Tampak serasi dengan baju putih sederhana yang ia kenakan. Wedha lantas duduk.

“Lama sekali tidak bertemu,” ujarnya.
“Sepertinya ada yang rindu.” Aku menggoda.
Ia hanya tertawa.

Wedha…
Hm…
Apa kau masih tidak berkenan menikah denganku?
Wedha tidak menjawab. Cukup lama dan ia masih tidak menjawab. Aku mulai khawatir
bahwa aku menanyakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Tetapi, aku juga harus membuat semua ini jelas. Paling tidak, aku tidak harus membiarkan diriku
bertanya-tanya dan penasaran seorang diri.

Apakah Islam dan Kapitayan menjadi jarak yang nyata bagi kita Wedha? Begitukah sehingga kau tidak berkenan menikah denganku?
Alih-alih menjawab, Wedha hanya tersenyum, membuat kekhawatiranku semakin naik
setiap waktu. Tidak ada beda apakah itu Islam atau Kapitayan, Bareksa. Keduanya mengajarkan kebaikan. Kau dan aku memegang keyakinan yang berbeda tetapi bukankah esensi dan tujuannya sama? Tentu saja ada batasan-batasan, ada
perbedaan, tetapi sama sekali itu tidak menjadi alasanku untuk menolak tawaranmu. Hanya saja, Bareksa, kau mungkin tidak mempercayaiku, tetapi aku tahu
kau akan lebih bahagia jika menikah dengan gadis lain. Percayalah.

Jawaban Wedha bukan sesuatu yang jelas. Sejujurnya kalimat yang panjang itu membuatku bingung. Penolakan dengan alasan? Penolakan dengan dalih aku tidak bisa bahagia jika bersamanya?

Bareksa… terdengar suara dari kejauhan. Itu Pak Wanto, tetangga sebelah rumah.
Ada yang mencarimu di rumah. Kamu ngapain ngelamun di situ sendirian? Makanya toh ndang nikah biar nggak sendiri terus. Pak Wanto tertawa.

Aku tahu niat Pak Wanto hanya menggoda, tapi tidakkah dia melihat ada seorang gadis duduk di sampingku? Sudah, ayo Bar. Orang itu katanya mau beli hasil hidroponikmu. Kasian kalau disuruh nunggu. Aku mengiyakan perkataan pak Wanto. Dan kulihat Wedha, ia tersenyum seperti tadi, lalu memudar, pelan-pelan.

Jangan khawatir, aku akan datang lagi. Tukasnya sebelum benar-benar pergi, ah tidak,
sebelum benar-benar memudar dan hilang. (*)

*Ahmad Tarno, Pria kelahiran 1973 ini lahir dari keluarga sederhana. Besar di lingkungan yang juga sederhana. Motto hidupnya: man jadda wajada.

Oleh: Ahmad Tarno*

Aku menoleh ke belakang. Sosok Wedha berdiri anggun tidak jauh dari tempatku duduk. Rambutnya yang panjang dibiarkan terburai. Jatuh begitu indah di pundak. Tampak serasi dengan baju putih sederhana yang ia kenakan.

——————————————————-

CAHAYA kuning tampak sendu menghiasi sisi lautan. Sebuah tempat yang dulu hanya
perbatasan air asin dan daratan berpasir coklat, kini telah berubah menjadi sesuatu yang diminati banyak orang. Dinding bermotif indah di sana sini. Pagar pembatas membentang cukup luas. Loket di bagian depan, relief kejayaan masa silam yang
didesain sedemikian cantik dan pepohonan rindang menari-nari mengikuti arah angin—
membuat tempat ini hampir tidak aku kenali.

Setiap kali duduk di tepian sini, entah bagaimana sebuah rasa heran menggelayutiku begitu cepat. Pertama, tidakkah sulit dipercaya bahwa tempat ini dulu adalah pelabuhan besar bernama Kambang Putih? sejauh aku mengamati, paling tidak sampai
usiaku 27 tahun, jejak kebesaran itu sama sekali tidak terlihat. Kedua, kota kecil yang bahkan tidak banyak dikenal ini—siapa sangka menjadi saksi bisu sebuah kerajaan besar di masa silam.

- Advertisement -

Ketiga, Tuhan begitu baik mengirimiku seseorang untuk kukagumi dan kuajak bercengkrama dengan hangat: hanya jika aku duduk di sini. Maklum saja, seumur-umur aku tidak pernah memiliki seseorang yang kerap mereka sebut kekasih. Teman perempuan memang cukup banyak. Tetapi tidak ada satupun yang dapat membuat
hatiku terpikat seperti Wedha.

Dia lembut seperti kidung yang biasa aku dengar dari Ibu menjelang tidur. Manis seperti
gula aren yang dicampur Bapak ke dalam kopi setiap pagi. Wedha adalah satu-satunya perempuan yang bisa membuatku jatuh hati, tetapi ia mengatakan tidak bisa
tinggal bersamaku karena suatu hal. Di satu sisi, aku patah hati.

Apa Wedha tidak mencintaiku? Di sisi lain, aku bersyukur karena meski tak bisa tinggal—ia tetap bersedia menemaniku di sini dalam beberapa waktu. Kurasa benar kata bocah-bocah di depan loket tadi, aku penyendiri dan sedikit tidak mudah dipahami. Ucapku lirih. Kulihat wajah berseri Wedha di beriak air, ia tersenyum.

Apa kau terganggu dengan itu?
Apa sebutan itu membuatmu tidak nyaman? Aku menggelengkan kepala.
Ingin sekali mengatakan bahwa ucapan orang tak pernah menggangguku. Setiap kali
olokan-olokan itu mulai mengusik, aku akan segera berusaha mengingat bahwa
terlalu mengambil pusing pendapat orang adalah sebuah kesia-siaan. Sebaliknya, jika
Wedha pergi dan mengatakan sesuatu yang tidak baik tentangku, mungkin itu yang
akan membuatku menjadi sangat gusar dan tidak nyaman.

Apa kau hafal tembang Lingsir Wengi? Maukah kau menyanyikan itu untukku? Untuk apa? Wedha beralih memandangku dengan mata penuh selidik.

Kau tidak berkenan? atau tidak hafal? Ya sudahlah.
Demi mendengar jawabanku, tawa Wedha pecah, aku bahkan sudah hafal lagu itu sebelum almarhum pak Dhe Didi menyanyikannya, nada bicara Wedha mulai congkak seperti biasa, tapi aku menyukainya.

Setelah melalui keheningan yang tidak lama, beberapa syair Lingsir Wengi mulai memenuhi ruang dengar, bersandingan dengan suara ombak dan hembusan angin malam, terdengar lirih dan sedikit menyayat hati, sebagian syair itu mengingatkanku pada ibu, sebagian yang lain membuatku ingin tertidur.

“Sepi durung bisa nendro.” “Nandang bronto kadung loro sambat-sambat sopo.”
“Rino wengi sing tak puji ojo lali.” “Janjine ugo biso tak ugemi.”

Wedha berhenti. Setengah mengantuk aku melihatnya dengan tatapan seolah bertanya kenapa? Andai saja ia bernyanyi lebih lama, mungkin aku bisa terlelap di pinggir pantai ini.

Aku tidak bernyanyi untuk mengantarmu tidur, Wedha memasang muka masam.
Aku juga tidak berencana tidur, tetapi entah kenapa lagumu membuatku ingin tidur.

Wedha tidak menjawab. Sepertinya ia mendengus, tetapi karena ia menghadap utara
sementara aku di selatannya, aku jadi tidak bisa memastikan perkiraanku itu.

Sebelum meninggal, ibu selalu mengatakan bahwa menyanyikan lagu ini ketika suasana hati sedang buruk bisa membuatku menjadi tenang. Karena maknanya sangat dalam dan ia adalah gubahan Mbah Sunan.

Untuk itu, ibu selalu marah ketika para tetangga takut mendengar lagu ini—hanya karena ada film yang menggunakannya sebagai cara mengundang makhluk halus.
Ungkapku kepada Wedha sambil berusaha mengingat wajah ibu.

Karena tidak ada jawaban, kulirik Wedha sebentar. Ia masih hening, berlagak mengamati perahu di seberang lautan. Tapi ia tampak mendengarkan.

Wedha, dalam hal pengetahuan, aku kalah darimu. Kau bahkan hafal nama-nama penjaga tempat ini di jaman Majapahit dulu. Kau juga mengatakan bahwa kau pernah bertemu Syaikh Subakir dan Syaikh Jamaluddin ketika orang Mulia itu pertama kali mendarat di tempat ini.

Aku memercayaimu Wedha, karena kurasa kau seperti aku—yang juga sering
membayangkan bahwa aku bertemu Aristoteles dan Berandal Lokajaya lalu bercengkrama akrab bersama mereka.

Ucapanku membuat Wedha secara spontan melihat ke arahku. Alisnya mengkerut.
Kemudian ia tertawa lagi. Kali ini lebih lama, lalu mengajukan protes persis seperti dugaanku: tapi aku benar-benar bertemu mereka, tidak hanya membayangkan sepertimu!
***
Sudah beberapa hari aku tidak pergi ke tempat favoritku dan Wedha. Kata Wedha aku harus lebih berhemat. Jangan buang-buang uang untuk membeli tiket dan bayar parkir.

Aku mencoba berdalih bahwa membayar tiket dan parkir bisa membantu pemkab dan tukang parkir karena itu sumber pemasukan mereka. Wedha mengatakan itu bagus, tetapi terlalu sering tidak bagus.

Sebagai gantinya, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Kalau orang daerah sini, semua pasti akrab dengan nama Semanding. Tapi kalau orang luar, aku tidak yakin mereka tahu Semanding itu sejenis kata serapan atau nama sebuah kecamatan.

Memang, Semanding yang beberapa daerahnya bertanah merah dan jarang ada air ini bukan sesuatu yang mudah diingat. Lagipula selain pemandian Bektiharjo—yang hanya ramai di waktu tertentu—, Semanding tidak memiliki apa-apa lagi.

Dan di daerah seperti itulah aku dibesarkan. Dalam sebuah rumah sederhana yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan sedikit kayu di bagian depan. Aku membiarkannya seperti itu sampai saat ini karena rumah ini satu-satunya peninggalan ibu dan bapak. Hanya pelataran depan rumah yang sedikit aku rubah komposisi tanamannya.

Kalau dulu lebih sering ditanami cabai, kacang, dan jagung. Sekarang ada rangkaian pipa paralon dan tanaman-tanaman hidroponik, seperti bayam, kangkung, dan sawi.

Tetangga di sini sering mengataiku bujang lapuk. Mereka tidak lelah memberi
saran agar aku lekas menikah. Itu membuatku kesal juga kadangkadang.
Tetapi, itu adalah bentuk kepedulian mereka terhadapku yang sebatang kara. Jadi, aku
memakluminya. Keinginan mereka untuk segera melihatku hidup bahagia—paling tidak
hidup dengan seseorang yang bisa diajak berbagi sangat bisa kupahami.

Tetapi mau bagaimana lagi, Wedha tidak berkenan diajak ke arah sana. Beberapa tetangga juga pernah menawariku agar aku menikah dengan putri mereka, tetapi, ya,
tidak ada yang seperti Wedha. Itu membuat mereka tidak jarang bertanya tentang siapa Wedha, secantik apa dia sampai membuatku tidak bisa melihat ke arah lain dan membujang tidak jelas jeluntrungannya.

Jika sudah sangat lelah menjawab, aku selalu menanggapi mereka dengan senyuman lalu menyahut, doanya saja Buk. Doanya saja Pak. Didoakan berkali-kalipun kalau
kamu ga ada niat ya muspro Bar.
Aku selalu: hanya tersenyum. Aku mau membersihkan makam Mbah Dandang Wacono
dulu, itu samping-sampingnya sudah mulai kotor oleh dedaunan.

Dengan alasan itu aku bisa pamit undur diri dari pembahasan tentang pernikahan. Aku lantas menyibukkan diri dengan menyapu halaman pemakaman yang tidak begitu luas. Di tengah pekarangan ada sebuah aliran sungai yang airnya masih sangat jernih. Meski bukan sesuatu yang lazim di kecamatan sebelah, orang-orang di daerah sini masih suka mencuci atau mandi di sungai.

Makam Mbah Dandang Wacono tidak begitu banyak dijamah, jadi tidak sulit melihat
ia kotor dan berdebu—karena memang tidak ada petugas kebersihan khusus di sini.
Kecuali di hari tertentu seperti menjelang lebaran, biasanya bupati akan datang ke sini untuk melakukan sebuah ritual doa ala orang Islam. Kami menyebut itu
ziarah dan membaca sesuatu yang disebut tahlil: untuk mendoakan seseorang yang
telah berpulang.

Di luar bupati, jarang sekali ada orang yang datang ke pesarean adipati pertama tanah ini. Sepertinya memang tidak banyak yang tahu siapa itu Mbah Dandang Wacono, selain dirasa tidak begitu terkenal, tampaknya sesuatu seperti Mobile Legend dan Tiktok lebih menyenangkan untuk dikunjungi dan dilihat.

Akupun, jika memiliki telepon genggam canggih sepertinya juga akan senang bermain hal-hal kekinian seperti itu.
***
“Kagodho mring wewayang kang reridu ati.”
“Kawitane mung sembrono jur kulino.”
“Ra ngiro yen bakal nuwuhke trisno.”

Aku menghentikan ayunan sapuku. Suara itu, ibu atau Wedha? Ah! Tidak mungkin ibu,
Beliau sudah meninggal. Wedha? Aku menengok ke sekeliling. Tetapi tidak menemukan
siapapun.

Barangkali aku terlalu merindukan ibu dan Wedha. Batinku menghibur, lalu kembali
menyapu.

“Nanging duh tibake, aku dewe kang nemahi.”
“Nandang bronto, kadung loro, sambat-sambat sopo.”

Suara itu terdengar lagi. Meski tidak sepenuhnya, aku yakin Wedha ada di sekitar sini. Aku berdiam diri sejenak. Bukankah Wedha selalu datang ketika aku duduk tenang di dekat pantai?

Pantai. Air asin. Sungai. Air tawar. Siapa tahu akan sama. Akhirnya aku memutuskan
duduk di dekat sungai yang melewati pesarean Mbah Dandang. Memasukkan separo
kakiku di airnya yang tenang. Hening. Hanya suara angin. Hening. Hanya suara kendaraan lewat kadang-kadang.

Bareksa! Aku menoleh ke belakang. Sosok Wedha berdiri anggun tidak jauh dari tempatku duduk. Rambutnya yang panjang dibiarkan terburai. Jatuh begitu indah di pundak. Tampak serasi dengan baju putih sederhana yang ia kenakan. Wedha lantas duduk.

“Lama sekali tidak bertemu,” ujarnya.
“Sepertinya ada yang rindu.” Aku menggoda.
Ia hanya tertawa.

Wedha…
Hm…
Apa kau masih tidak berkenan menikah denganku?
Wedha tidak menjawab. Cukup lama dan ia masih tidak menjawab. Aku mulai khawatir
bahwa aku menanyakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Tetapi, aku juga harus membuat semua ini jelas. Paling tidak, aku tidak harus membiarkan diriku
bertanya-tanya dan penasaran seorang diri.

Apakah Islam dan Kapitayan menjadi jarak yang nyata bagi kita Wedha? Begitukah sehingga kau tidak berkenan menikah denganku?
Alih-alih menjawab, Wedha hanya tersenyum, membuat kekhawatiranku semakin naik
setiap waktu. Tidak ada beda apakah itu Islam atau Kapitayan, Bareksa. Keduanya mengajarkan kebaikan. Kau dan aku memegang keyakinan yang berbeda tetapi bukankah esensi dan tujuannya sama? Tentu saja ada batasan-batasan, ada
perbedaan, tetapi sama sekali itu tidak menjadi alasanku untuk menolak tawaranmu. Hanya saja, Bareksa, kau mungkin tidak mempercayaiku, tetapi aku tahu
kau akan lebih bahagia jika menikah dengan gadis lain. Percayalah.

Jawaban Wedha bukan sesuatu yang jelas. Sejujurnya kalimat yang panjang itu membuatku bingung. Penolakan dengan alasan? Penolakan dengan dalih aku tidak bisa bahagia jika bersamanya?

Bareksa… terdengar suara dari kejauhan. Itu Pak Wanto, tetangga sebelah rumah.
Ada yang mencarimu di rumah. Kamu ngapain ngelamun di situ sendirian? Makanya toh ndang nikah biar nggak sendiri terus. Pak Wanto tertawa.

Aku tahu niat Pak Wanto hanya menggoda, tapi tidakkah dia melihat ada seorang gadis duduk di sampingku? Sudah, ayo Bar. Orang itu katanya mau beli hasil hidroponikmu. Kasian kalau disuruh nunggu. Aku mengiyakan perkataan pak Wanto. Dan kulihat Wedha, ia tersenyum seperti tadi, lalu memudar, pelan-pelan.

Jangan khawatir, aku akan datang lagi. Tukasnya sebelum benar-benar pergi, ah tidak,
sebelum benar-benar memudar dan hilang. (*)

*Ahmad Tarno, Pria kelahiran 1973 ini lahir dari keluarga sederhana. Besar di lingkungan yang juga sederhana. Motto hidupnya: man jadda wajada.

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img